Surat Kepada Kanjeng Nabi: Sebuah Ancangan
Umat Islam di muka bumi, dari abad ke abad, dari era ke era, serta dari periode kehidupannya, telah ribuan kali atau bahkan ratusan ribu kali—atau entahlah berapa persisnya—memperingati kelahiran Nabi Agung Muhammad Saw. yang mereka junjung tinggi dan mereka dekap intim dalam hati karena kemuliannya.
Setiap masyarakat Muslim, setiap kelompok, serta setiap orang mengagung-agungkannya ratusan ribu kali. Muhammad tidak menjadi lapuk oleh panas hujan segala zaman. Muhammad dipelihara namanya di zaman orang bertani, serta di zaman pascamodern ketika kekuatan alat informasi dan komunikasi menjadi “dewa”.
Muhammad tidak pernah disebut “kuno”, meski kita punya Mercedes paling mutakhir, superkomputer, serta segala jenis teknologi yang paling dibangga-banggakan. Muhammad tidak pernah dikategorikan sebagai manusia masa silam dengan muatan nilai-nilai dekaden, meski kita telah memiliki apa pun yang melambangkan pencapaian-pencapaian kontemporer.
Tak Pernah Mati
Muhammad senantiasa hadir kembali. Muhammad senantiasa lahir dan lahir kembali: memunculkan “diri”-nya dalam setiap konteks pemikiran, manifestasi peradaban dan kebudayan, serta dalam setiap produk dan ungkapan kemajuan. Muhammad tidak pernah mati, kecuali darah daging dan tulang belulangnya yang telah manunggal dengan tanah. Badan Muhammad telah bertauhid dengan hakikatnya, yakni tanah itu. Muhammad yang hidup sekarang bukan lagi jasmani itu, karena telah ditransformasikan ke dalam wujud-wujud yang lebih lembut dan hakiki.
Setiap transformasi selalu berlangsung dengan pengurangan, penambahan, perubahan, dan pergeseran. Darah daging Muhammad tidak terbawa sampai kepada kita sekarang, apalagi ke negeri Allah yang hakiki kelak.
Muhammad yang abadi, yang mengabadi, atau yang menjadi keabadian, dan hari-hari ini melintasi kehidupan kita terbuat dari segala yang dilakukannya semasa jasmaninya hidup. Wajah Muhammad kini terdiri atas seluruh nilai perilakunya dulu. Cahaya wajah itu terbuat dari sujud-sujud sembahyangnya.
Badannya terbikin dari amal bajik selama terlibat menghancurkan kebudayaan jahiliah. Kaki dan tangannya dirakit dari pahala dan jasa sosial yang kelak menolongnya memperoleh tempat paling khusus di surga jannatunna’im.
Demikian juga kita kelak. Daging kita akan rapuh, kulit mengeriput, rambut memutih, dan seluruh badan kita akan musnah menjadi debu material yang hina. “Badan” dan identitas kita selanjutnya dibentuk oleh sistem assembling dari pilihan-pilihan kelakuaan kita, dari kepribadian dan sikap sosial kita, dari barang-barang yang kita amalkan atau kita korup, dari segala sesuatu yang kita Islamkan atau kita curi.
Teologi Islam telah memandu kita bagaimana memilih assembling diri masa depan yang terbaik dan termulia. Filosofi Islam membimbing kita untuk merancang jenis kemakhlukan macam apa kita akan menjadi kelak. Dan kosmologi Islam memberi pilihan kepada kita, apakah kita akan merekayasa diri menjadi benda setingkat debu, menjadi energi yang gentayangan jadi hantu dan klenik, atau menjadi api dan kayu bakar menyiksa diri sendiri, atau alhamdulillah kita lulus menempuh transformasi dari materi ke energi ke cahaya.
Jika kita menjadi cahaya—karena bersih dari tindak korupsi ekonomi, penindasan politik, kecurangan sosial, penyelewengan hukum serta maksiat kebudayaan—maka insya Allah itulah yang bernama tauhid. Menyatu dengan Allah: Allah nurus-samawat wal-ardl.
Allah itu cahaya langit dan bumi. Bukan Allah mencahayai atau menyinari langit dan bumi. Kita bergabung menjadi Muhammad otentik. Muhammad hakiki: Nur Muhammad. Cahaya yang terpuji. Asal-usul inisiatif ciptaan oleh Allah.
Cahaya cikal-bakal yang pada abad ke-13 dimanifestasikan melalui seorang laki-laki yang progresif menentang arus, menjajakan tauhid di tengah-tengah berhala, yang bersedia menggenggam pedang untuk mempertahankan diri dan menegakkan nilai, dan yang bersedia tidur beralaskan daun korma. Yang kalau kelaparan dia merasa pekewuh untuk meminta sehingga mengganjal perutnya dengan batu, dan yang punya bargaining power untuk berkuasa namun milih hidup melarat.
Ah, Muhammad, Muhammad. Betapa kami mencintaimu. Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan, sehingga luapan cinta kami tak bisa dibendung oleh apa pun. Dan jika seandainya cinta kami ini sungguh-sungguh, betapa tak bisa dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama kepada Allah.
Akan tetapi tampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu kepadamu. Cinta kami tidaklah seindah yang bisa kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana, dan kasidah-kasidah. Dalam sehari-hari kehidupan kami, kami lebih tertarik kepada hal-hal yang lain.
Kami tentu akan datang ke acara peringatan kelahiranmu di kampung kami masing-masing, namun pada saat itu nanti nanti wajah kami tidaklah seceria seperti tatkala kami datang ke toko-toko serba ada, ke bioskop, ke pasar malam, ke tempat-tempat rekreasi.
Kami mengirim shalawat kepadamu seperti yang dianjurkan oleh Allah–karena Ia sendiri beserta para malaikat-Nya juga memberikan shalawat kepadamu. Namun umumnya itu hanya karena kami membutuhkan keselamatan diri kami sendiri.
Seperti juga kalau kita bersembahyang sujud kepada Allah, kebanyakan dari kami melakukannya karena kewajiban, tidak karena kebutuhan kerinduan, atau cinta yang meluap-luap. Kalau kami berdoa, doa kami berfokus pada kepentingan pribadi kami masing-masing.
Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut sebagai sahabatmu, Muhammad. Kami mencintaimu, namun kami belum benar-benar mengikutimu. Kami masih takut dan terus-menerus tergantung pada kekuasaan-kekuasaan kecil di sekitar kami. Kami kecut pada atasan. Kami menunduk kepada benda-benda. Kami bersujud kepada uang, dan begitu banyak hal-hal yang picisan.
Setiap tahun kami memperingati hari kelahiranmu. Telah beribu-ribu kali umatmu melakukan peringatan itu, dan masing-masing kami rata-rata memperingati kelahiranmu tiga puluh kali. Tetapi lihatlah: kami jalan di tempat. Tidak cukup ada peningkatan penghayatan. Tak terlihat output personal maupun sosial dari proses permenungan tentang konsistenan. Acara peningkatan maulidmu pada kami masih involusi, bahkan mungkin degradasi dan distorsi.
Negarawan Agung
Zaman telah mengubah kami, kami telah mengubah zaman, namun kualitas percintaan kami kepadamu tidak kunjung meningkat. Kami telah lalui berbagai era, perkembangan dan kemajuan. Ilmu, pengetahuan, dan teknologi kami semakin dahsyat, namun tak diikuti dahsyatnya perwujudan cinta kami kepadamu.
Kami semakin pandai, namun kami tidak semakin bersujud. Kami semakin pintar, namun kami tidak semakin berislam. Kami semakin maju, namun kami tidak semakin beriman. Kami semakin berkembang, namun kami tidak semakin berihsan. Sel-sel memuai. Dedaunan memuai. Pohon-pohon memuai. Namun kesadaran kami tidak. Keinsafan kami tidak. Cinta dan internalisasi ketuhanan kami tidak.
Kami masih primitif dalam hal akhlak—subtansi utama ajaranmu. Padahal kami tak usah belajar soal akhlak, karena tidak menjadi naluri manusia; berbeda dengan saudara kami kaum jin yang ilmu tak usah belajar namun akhlak harus belajar. Akhlak kaum jin banyak yang lebih bagus dari kami.
Sebab kami masih bisa menjual iman dengan harga beberapa ribu rupiah. Kami bisa menggadaikan Islam seharga emblem nama dan segumpal kekuasaan. Kami bisa memperdagangkan nilai Tuhan seharga jabatan kecil yang masa berlakunya sangat sementara. Kami bisa memukul saudara kami sendiri, bisa menipu, meliciki, mencurangi, menindas, dan menghisap, hanya untuk beberapa lembar uang.
Padahal kami mengaku sebagai pengikutmu, ya Muhammad. Padahal engkau adalah pekerja amat keras dibanding pemalasan kami. Padahal engkau adalah negarawan agung dibanding ketikusan politik kami. Padahal engkau adalah ilmuan ulung dibanding kepandaian semu kami. Padahal engkau adalah seniman anggun dibanding vulgar-nya kebudayaan kami.
Padahal engkau adalah pendekar mumpuni dibanding kepengecutan kami. Padahal engkau adalah strateg dahsyat dibanding berulang-ulangnya keterjebakan kami oleh sistem Abu Jahal kontemporer.
Padahal engkau adalah mujahid yang tak mengenal putus asa dibanding deretan kekalahan-kekalahan kami. Padahal engkau adalah pejuang yang sedemikian gagah perkasa terhadap godaan benda emas dibanding kekagumam tolol kami terhadap hal yang sama.
Padahal engkau adalah moralis kelas utama dibanding kemunafikan kami. Padahal engkau adalah panglima kehidupan yang tak terbandingkan dibanding keprajuritan dan keserdaduan kepribadian kami. Padahal engkau adalah pembebas kemanusiaan.
Padahal engkau adalah pembimbing kemuliaan. Padahal engkau adalah penyelamat nilai kemanusiaan. Padahal engkau adalah organisator dan manajer yang penuh keunggulan dibanding ketidaktertaatan keumatan kami.
Padahal engkau adalah manusia yang sukses menjadi nabi dan nabi yang sukses menjadi manusia, di hadapan kami. Padalah engkau adalah liberator budak-budak, sementara kami adalah budak-budak yang tak pernah merasa, menyadari, dan tak pernah mengakui, bahwa kami adalah budak-budak.
Sementara kami adalah budak-budak—dalam sangat banyak konteks—yang sesudah berbincang tentang perbudakan, segera mencari kalimat-kalimat, retorika, dan nada yang sedemikian indahnya sehingga bisa membuat kami tidak lagi menyimpulkan bahwa kami adalah budak-budak.
Di negeri kami ini, umatmu berjumlah terbanyak dari penduduknya. Di negeri kami, kami punya Muhammadiyah, NU, Persis, punya ulama-ulama dan MUI, ICMI, punya bank, punya HMI, PMII, Anshor, Pemuda Muhammadiyah, IPM, PII, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, kelompok-kelompok studi Islam intensif, yayasan-yayasan, muballig-muballig, budayawan, dan seniman, cendekiawan, dan apa saja.
Yang tak kami punya hanyalah kesediaan, keberanian, dan kerelaan yang sungguh-sungguh untuk mengikuti jejakmu. []
Surabaya Post, 8 September 1992
*Telah diterbitkan dalam buku Surat Kepada Kanjeng Nabi, Mizan (1996).