CakNun.com

Slilit Sang Kiai Masuk Kultum

Tanpa saya bayangkan dan saya duga sebelumnya, penyampai kultum shalat taraweh di Langgar mungil di kampung saya itu menyitir kisah Slilit Sang Kiai-nya Mbah Nun. Ia ceritakan kepada jamaah bahwa seorang kiai sekalipun masih bisa tiba-tiba ruwet urusannya dalam proses menuju surga gegara soal sepele. Dituturkan selengkapnya, sang Kiai itu mengungkit kayu pagar milik orang lain tanpa izin buat nyutik slilit di sela-sela giginya. Betapapun banyak amal baik sang Kiai di mata manusia, tetapi di depan al-lathief-nya Allah, perkara kecil bisa menyebabkan dia berada di depan meja audit Allah yang maha detail dan jeli.

Saya yang semula menunduk tanpa sadar menegakkan punggung dan memberikan perhatian lebih ekstra sembari penasaran pesan apa yang hendak disampaikan. Kisah Slilit Sang Kiai ini, katanya bagaikan mendaras kitab, mengajarkan pada kita agar tidak boleh jumawa. Walaupun mungkin amal kebajikan kita sudah segunung, bisa saja ada hal yang luput dalam kesadaran kita yang bagi Allah itu tetap masuk dalam catatan dan nanti akan dihisab. Kita tak boleh pede-pede amat. Sombong apalagi.

Sebelumnya, Ia berpesan agar kalaulah kita masih punya banyak kekurangan, mungkin dosa kita bertumpuk, dan minim amal kebaikan, tidak selayaknya kita berputus asa. Allah maha dermawan dan luas kasih sayang-Nya. Lalu dinukillah kisah pelacur yang menolong anjing kehausan di tepi sumur. Sepatu yang dipakainya mengambil air buat anjing itu mengungkitnya untuk sampai di depan ampunan dan kasih sayang Tuhan. Bleng, dia pun masuk ke surga.

Saya kemudian sadar. Sang penyampai kultum, yang saya lebih suka menyebutnya kiai ketimbang ustadz, berbicara kepada jamaah mengenai keseimbangan sikap hidup. Meskipun titik tekan ia berikan kepada kecenderungan ketidakwaspadaan yang bisa dialami orang-orang yang beragama. Kasusnya mungkin bukan nyuil kayu tanpa izin, melainkan perasaan benar sendiri, gampang menilai dan menyimpulkan orang lain, menyalah-nyalahkan apa yang tak disetujuinya pada liyan, dan gejala sejenis dan seterusnya. Ringkasnya, bukan nyaut kayu, tetapi “ghosob” hak Tuhan.

Sang Kiai penyampai kultum mengemukakan keprihatinannya akan kondisi umat Islam saat ini. Parade unjuk dan adu kebenaran mendominasi media serta mewarnai ranah sosial politik masyarakat dan ini justru merugikan umat Islam itu sendiri. Sebab, umat akan terpecah belah dan tidak bersatu.

Tepat tatkala kata umat meluncur dari bibir Sang Kiai, tombol di otak saya serasa ada yang menekan dan memutar ingatan dan catatan akan Maiyahan. Hari-hari itu, saya sedang memikirkan satu hal: Bahwa Maiyahan atau Sinau Bareng menyadarkan saya akan satu orientasi yang barangkali tak nyantol di kebanyakan pikiran kita. Saya menyebutnya, di dalam hati tentunya, kerangka umat. “Ummah” menjadi muara dan orientasi yang hendak dituju Maiyah. Maksudnya, jika dicermati apa-apa yang disampaikan Mbah Nun, terutama dalam waktu-waktu terakhir ini, muaranya adalah menyediakan alasan, landasan, dan bahan-bahan yang dapat dijadikan dorongan untuk kita, sesama dan semua umat Islam, mau menciptakan kondisi penuh ukhuwwah. Tidak boleh ada di antara kita kelompok yang merasa benar sendiri, merasa menggenggam otoritas akan pengetahuan dan kebenaran, semena-mena menilai orang, mantap dalam menuding, dan yakin tanpa menyisakan sedikit pun ruang akan kemungkinan diri bisa saja salah.

Semua jari menunjuk ke luar ke orang lain, tak ada lagi kerendahan hati, jauh pula yang bernama kasih sayang, yang ada adalah ketegaan kepada sesama saudara, dan implikasi yang muncul adalah terjadinya krisis kemanusiaan. Krisis dalam arti manusia kehilangan atau termatikan sifat-sifat baiknya. Sifat-sifat yang justru dibutuhkan agar kehidupan umat itu dapat terbangun dengan baik. Apa namanya kalau bukan hilangnya kemanusiaan jika kita begitu mantap melukai perasaan orang lain dan kekeh pada kemauan dan kebenaran sendiri. Sebab-sebabnya sangat banyak, di antaranya mancep-nya kesadaran kebenaran hitam-putih, oposisi biner, salah-benar yang dipahami secara tidak tepat sehingga justru mereduksi keluasan cakrawala hidup. Dan seterusnya kita bisa deret.

Bringing Ummat Back In

Pandangan pribadi nan subjektif saya sendiri pun merasakan sepertinya memang sudah sekitar dua dekade ini, pasca Reformasi 1998 mungkin, diskursus keislaman kita di Indonesia jauh dari membincang “ummat”. Umat dalam arti suatu rentang luas yang diisi oleh seluas-luasnya orang Islam dengan ragam latar belakang golongan maupun pemikiran. Mereka bersatu bernaung di bawah “ummat” karena kesamaan keyakinan atau tauhid. Kesamaan itulah yang mendorong mereka bertemu dan bersatu. Ukhuwwah Islamiyah, begitu dulu sering didengungkan. Kosakata terakhir ini kini jarang terdengar. “Ummat” sebagai kesadaran dan konsep tersepak jauh ke pinggir.

Sementara yang bergerak ke tengah adalah suasana mengedepankan kebenaran sendiri, kebenaran kelompok, keyakinan satu madzhab pemikiran, dan lain-lain tanpa ada rasa mengalah. Semua berebut. Saling mempertahankan diri. Politik identitas dipertarungkan. Ada mungkin kata ummat muncul tetapi telah terkontaminasi oleh kegolongan, bukan umat sebagai wadah besar.

Padahal seruan untuk bersatu padu dan tidak bercerai-berai sangat jelas dan eksplisit dinyatakan Allah dalam kitab-Nya. Demikian pula pengertian-pengertian dari Rasulullah tentang apa itu Islam, Iman, dan Ihsan begitu terang. Bila salah satu tanda mukmin adalah orang yang orang lain terjaga martabatnya oleh keberadaan dia, yang terjadi saat ini justru meluasnya sikap merendahkan martabat orang semata karena beda pandangan. Jika Nabi menggambarkan orang beriman itu saling menguatkan satu sama lain, yang berlangsung belakangan justru sebaliknya.

Hampir semua sendi dasar dan nilai-nilai esensial agama tak hanya menguatkan kaki personal, tapi menyediakan basis ilmu untuk menciptakan ukhuwah Islamiyyah atau membangun tata hubungan antar orang Islam dengan nilai-nilai luhur dan mulia. Di situlah anggota umat bersatu karena persaudaraan atas dasar nilai-nilai esensial itu.

Kini saatnya “ummat” dikembalikan ke tengah. Bring ummat back in. Tetapi, belum tentu kita siap manakala kita masih berada dalam keadaan yang didominasi oleh kesempitan pikiran dan jiwa sebagaimana dengan mudah bisa kita lihat contohnya. Namun memang “Ummat” perlu disorong kembali untuk menjadi narasi bersama di mana setiap kelompok adalah bagian dari ummat itu dengan segala kontribusi positifnya. Ummat adalah kerangka bersama.

Di dalam keterpinggiran “ummat” sebagai narasi, dan digantikan oleh beradunya narasi-narasi kelompok atau antar hasil pemikiran, Kiai penyampai kultum itu secara tak langsung mengingatkan saya pada apa yang telah berlangsung di dan oleh Maiyahan. Kalau kita ingin bersatu, kita perlu melihat prasyarat yang diperlukan. Dalam hal ini, melalui Sinau Bareng Mbah Nun telah berikhtiar menyumbangkan serangkaian sikap dan pemikiran untuk itu.

Catat saja mulai dari “maafkanlah, dan jangan dendam terus,” “tadabbur: seberapapun mampunya, yang terpenting output sosialnya baik,” “hidup adalah getaran dan aliran,” “Silmi: tak perlu menunggu terciptanya Islam sebagai bangunan besar global untuk menjadi orang Islam. Sebisa-bisanya saja, yang penting buahnya adalah kasih sayang dan harmoni sosial,” “kebenaran terletak di dapur dan kebenaran sebagai bekal untuk kamu punya keluaran berupa kebaikan sosial,” “latihan menjadi penghuni surga”, “syukurilah orang yang sudah mendekat ke Allah, biarpun mungkin bagi masih salah-salah. Salah-salah dikit tak apa,” “doakan orang lain, dan jangan dituding-tuding,” dan lain-lain yang ini akan terus berkembang.

Seluruh pengkajian itu diserap dengan baik oleh jamaah dan publik. Tanpa disadari pula, itulah ikhtiar yang telah dicoba oleh Mbah Nun melalui Sinau Bareng yaitu demi mengembalikan “ummat” ke tengah-tengah umat. Upaya-upaya itu terus dilakukan di pelbagai tempat atau daerah di depan kaum muslimin yang sangat banyak di wilayah grassroot. Sesuatu yang kiranya berposisi praktis tepat pada sasaran. Artinya, apa yang disemaikan dalam Sinau Bareng ini bukan diskusi ekslusif di ruang konferensi yang hanya dihadiri perwakilan kaum intelektual. Sebaliknya, berbagai lapisan ada dan terlibat dalam Sinau Bareng.

Bila dikontraskan dengan apa yang ramai terjadi di ruang-ruang diskursus nasional dan umat Islam sendiri, seakan Mbah Nun mendorong pelan-pelan “ummat” dari pinggir untuk dapat menjadi narasi bersama tetapi justru dengan jalan menawarkannya langsung kepada umat Islam di grassroot di berbagai daerah. Sinau Barengnya itu sendiri pun dibangun oleh Mbah Nun untuk sebisa-bisanya menjadi miniatur dari kehidupan umat itu sendiri yang diwarnai oleh sikap kedewasaan, kebijaksanaan, kasih-sayang satu sama lain, prinsip mengedepankan enaknya bersama dan bukan benar atau inginnya sendiri, kesiapan pula untuk mau berbesar jiwa mencari apa yang benar dan bukan siapa benar, dan nilai-nilai yang selayaknya ada dan merajut jalinan persatuan, paseduluran, dan kebersamaan antar anggota umat Islam. Sekaligus diajak para jamaah atau hadirin untuk merasakan Sinau Bareng ini sebagai bagian dari latihan menjadi penghuni surga.

Banyak hal tentunya bisa ditulis tentang hal ini, tak terkecuali bagaimana upaya gigih Mbah Nun untuk menjaga agar Maiyah bukan merupakan suatu “golongan” atau tidak mewakili satu kelompok di dalam umat Islam dalam sikap dan respons-responsnya terhadap situasi kekinian termasuk dalam menanggapi setiap pertanyaan yang terlontar dari jamaah pada setiap Sinau Bareng.

***

Kiai yang menyampaikan kultum menyitir Slilit Sang Kiai itu telah sampai di penghujung uraiannya, tetapi malah saya yang belum bisa closing sendiri dalam pikiran saya. Pikiran saya itu sementara terhenti pada gambaran bahwa ramai ruang-ruang publik dan ruang-ruang diskursus yang dihuni oleh pertentangan antar kebenaran. Yakni kebenaran yang telah wungkul dalam pikiran setiap orang atau kelompok tapi masih berbenturan dengan kebenaran yang datang dari kelompok lain. Mudah-mudahan pada kultum selanjutnya tak hanya Slilit Sang Kiai–boleh butir-butir lain dari “latihan menjadi penghuni surga”–yang masuk kultum di Langgar ini.

Yogyakarta-Kediri, 31 Mei 2017

Lainnya

Indonesia Cabang Belanda

Indonesia Cabang Belanda

“Markesot bertutur bahwa orang berhak hidup dengan pandangannya sendiri sepanjang dia sanggup menjaga jarak, tenggang rasa, dan toleran terhadap pandangan lain di sekitarnya.” Kalimat ini saya temukan pada halaman 94 buku Markesot Bertutur karya Mbah Nun Edisi keempat, cetakan I bulan Juni tahun 2019 yang sedang saya baca saat ini.