CakNun.com

Sinau Bareng Puncaki Festival Banyu Urip

Menghadapi perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh modernisasi, industrialisasi, dan globalisasi, orang membutuhkan pegangan. Orang memerlukan sejumlah acuan buat menjawab pertanyaan-pertanyaan saat ini. Acara-acara Sinau Bareng di desa-desa sering berangkat dari situasi semacam itu dan di situ Mbah Nun diminta ikut memberikan pegangan-pegangan itu.

Masyarakat Gayam berbondong-bondong menuju lokasi Sinau Bareng. Foto: Adin

Tentu ada sejumlah hal telah ditempuh desa sebagai salah satu jawaban. Di antaranya tetap mempertahankan tradisi yang baik seperti Merti Desa, Festival Desa, dan ujud-ujud lain. Dan Mbah Nun sangat apresiatif untuk semua itu. Sering Mbah Nun dimintai buat menjadi saksi dan memberi pemaknaan lebih lanjut atas tradisi baik yang masih dilestarikan. Tetapi mungkin ada hal-hal yang masih memerlukan pemikiran atau pengambilan sikap lebih lanjut.

Pesan-pesan Mbah Nun dalam acara Festival Banyu Urip di Bojonegoro Minggu 5 November 2017 kemarin adalah salah satu contoh urun Mbah Nun dalam memilih prinsip untuk menjawab tantangan kekinian di dalam masyarakat modern.

Di sini, pesan-pesan Mbah Nun menunjukkan bahwa pegangan atau jawaban dalam menghadapi situasi saat ini adalah kembali kepada prinsip-prinsip dasar hidup yang berisifat hakiki dan universal. “Tidak penting apa identitasmu, apa jabatanmu, apa sukumu, apa rasmu. Yang penting adalah bagaimana perilakumu, bagaimana kelakuanmu terhadap orang-orang di sekitarmu,” begitu kata beliau. Itulah pesan awal yang menegaskan perilaku yang utama diperhatikan bukan identitas sosial. Mbah Nun seperti menyadari bahwa kemajuan zaman dan kelimpahan material dapat membawa orang pada menjadikan identitas sebagai parameter.

***

Festival Banyu Urip ini sendiri adalah event rutin tahunan yang digawangi Kelompok Karang Taruna, Kelompok PKK, Perangkat Kecamatan Gayam, dan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro tentunya. Acara ini juga dalam rangka memperingati HUT Kota Bojonegoro ke-340 dan HUT Kecamatan Gayam ke-5. Tema yang diusung adalah Harmoni Energi Budaya Banyu Urip Untuk Negeri. Mbah Nun dan KiaiKanjeng diminta buat memuncaki rangkaian festival ini. Acara digelar di Lapangan Desa Gayam, sekitar 20 KM dari pusat Kota Bojonegoro.

Foto: Adin

Sesuai rundown acara yang sudah disusun sebelumnya oleh Panitia, menjelang pukul 21.00 WIB, personel KiaiKanjeng menaiki panggung dan membawakan beberapa nomor-nomor awal untuk menyapa dan berinteraksi dengan jamaah yang sudah hadir. Beberapa saat kemudian, Cak Nun bersama beberapa tamu undangan dan tuan rumah turut bergabung di Panggung. Sebuah nomor Sholawat mengiringi kedatangan Cak Nun dan para tamu undangan. Lalu Mbah Nun membuka dengan ihwal perilaku dan identitas tadi.

Sejengkal kemudian, Mbah Nun meneruskan dengan mengelaborasi terminologi dasar lainnya: makhluk-insan-abdullah-khalifatullah. “Jika kamu belum mampu menjadi Khalifatullah, setidaknya kamu memiliki kesadaran sebagai Abdullah. Jika ternyata dirimu belum mampu menjadi Abdullah, minimal dirimu memiliki kesadaran sebagai seorang manusia (insan). Pun seandainya dirimu belum memiliki kesadaran sebagai seorang manusia, paling tidak terdapat kesadaran makhluk dalam dirimu,” demikian Mbah Nun menjelaskan secara perlahan.

***

Dalam kurun waktu 10 tahun yang lalu Kabupaten Bojonegoro masih tercatat sebagai salah satu Kabupaten dengan jumlah penduduk miskin yang cukup banyak. Alhamdulillah, dalam kurun waktu dua periode masa jabatan Bupati Suyoto atau yang lebih dikenal dengan Kang Yoto, Kabupaten Bojonegoro secara kondisi sosial masyarakat mampu berkembang dan saat ini sudah tidak berada dalam 10 besar Kabupaten dengan Penduduk miskin terbesar di Indonesia.

“Semoga Bojonegoro menjadi uswatun hasanah bagi Indonesia,”, begitu harapan Mbah Nun yang diungkapkan malam itu.

Masih pada segmen awal, Mbah Nun mengajak jamaah yang hadir untuk bersama-sama bermunajat kepada Allah atas segala persoalan yang sedang dihadapi Bangsa Indonesia saat ini. Pertama pada skala lebih luas terlebih dahulu, baru kemudian bermunajat untuk dirinya masing-masing.

Foto: Adin

Ini adalah terapan dialektika Rahman-Rahim yang kerap disampaikan Mbah Nun pada setiap Maiyahan. Rangkaian selanjutnya adalah membaca 3 Qul (Surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas), kemudian Ayat Kursi dan Al-Fatihah. Secara berurutan lalu KiaiKanjeng membawakan nomor “Pambuko” dan “Khotmil Qur`an”.

***

Acara Sinau bareng ini dilaksanakan di lapangan Gayam. Nama Gayam yang merupakan nama pohon mendapat perhatian dari Mbah Nun. Diingatkan oleh beliau bahwa Pohon Gayam adalah salah satu pohon yang dedaunannya memiliki fungsi menetralisasi polusi udara. Begitulah harapannya semoga Kecamatan Gayam juga memiliki fungsi sebagai salah satu Kecamatan yang menetralisasi polusi-polusi persoalan Bangsa. Mbah Nun berharap agar Bojonegoro dan Kecamatan Gayam tidak terkontaminasi persoalan-persoalan yang saat ini menghangat di Jakarta. Baik Bojonegoro maupun Kecamatan Gayam, hendaknya fokus untuk mengurusi dirinya sendiri.

Hadir dalam Sinau Bareng kali ini adalah Mas Sabrang MDP. Setelah membawakan “Ruang Rindu”, Ia diminta turut menjelaskan potensi Energi yang dimiliki Indonesia. Sabrang mengemukakan ada sumber Energi yang belum tersentuh di Indonesia. Apabila dikelola dengan baik, sumber Energi ini akan sangat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Bahkan diungkapkan oleh Sabrang, bisa jadi rakyat Indonesia tidak perlu lagi membayar biaya listrik setiap bulannya. Energi tersebut adalah Energi Thorium, yang merupakan salah satu cabang dari Energi Nuklir. Menurut Sabrang, Thorium ini adalah jenis energo yang lebih aman untuk dikelola jika dibandingkan dengan Uranium dan Plutonium. Dari sisi limbah pun, Thorium ini aman dan tidak menimbulkan radiasi. Dan potensi Thorium ini sangat banyak terdapat di Indonesia. Kini tinggal bagaimana Pemerintah Indonesia melalui BUMN mengelola PLTN dengan baik dan benar.

Menyambung paparan Sabrang, Mbah Nun mengungkapkan bahwa bermanfaatnya Energi Thorium tersebut akan lebih baik dikelola manakala Negara Indonesia sudah memiliki Pemerintah yang benar-benar bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia. Jika Pemerintah masih berlaku egois, hanya untuk mengambil manfaat bagi segelintir pihak saja, maka pengembangan Energi Thorium pun nantinya hanya akan dinikmati manfaatnya bagi sebagian orang saja.

Lepas bahasan energi ini, Sabrang kemudian membawakan lagu “Permintaan Hati” berduet dengan Donny KiaiKanjeng.

Foto: Adin

Acara Sinau Bareng malam itu berlangsung penuh kegembiraan. Setelah Mbak Nia KiaiKanjeng membawakan sebuah nomor Sholawat, beberapa tamu undangan perempuan di panggung diajak oleh Mbak Yuli dan Mbak Nia membawakan nomor “Laksamana Raja di Laut”. Mbah Nun juga mempersilakan Pak Camat, Pak Kapolsek dan Pak Dandim untuk berdendang bersama. Mereka bertiga memilih nomor “Suket Teki” dan “Sewu Kutho”.

Semakin malam, suasana SInau Bareng semakin hikmat. Mbah Nun menyampaikan sebuah pesan. “Jika Anda datang ke sebuah warung, kemudian Anda keracunan akibat makanan yang Anda makan di warung tersebut, maka untuk mengobati keracunan itu apakah Anda datang ke warung tersebut atau Anda mencari warung yang lain? Tentu saja Anda mencari warung yang lain.”

Begitulah kondisi Indonesia saat ini. Bangsa ini sudah terkontaminasi Demokrasi, Kapitalisasi dan LIberalisasi yang pada hakikatnya hanya meracuni dirinya sendiri. Sementara, Bangsa Indonesia justru mencari obat kepada “warung” yang sudah memperkenalkan Demokrasi, LIberalisasi dan Kapitalisasi itu. Seharusnya, Bangsa Indonesia mencari obat untuk racun tersebut dari warung yang lain.

Berkeliling hampir setiap malam di beberapa daerah, bertemu dengan masyarakat di lapisan terbawah yang tidak terjamah oleh Pemerintah Indonesia. Di situ, Mbah Nun berijtihad dan berikhtiar agar Allah memberikan Hidayah untuk Bangsa Indonesia, sehingga Indonesia segera diberikan kesembuhan atas racun-racun yang saat ini menyerang tubuhnya.

Semangat Wa ilaa robbika farghob menjadi fondasi utama pergerakan hampir tiap malam itu. Kesadaran bahwa Allah merupakan faktor primer perubahan yang kita harapkan, harus tetap tertanam. Kita sebagai manusia biasa jangan sampai ge-er merasa mampu mewujudkan perubahan atas kondisi Bangsa Indonesia saat ini.

“Secara Islam, yang saya lakukan ini adalah Tayammum. Karena saya tidak menemukan air untuk berwudhlu”, Mbah Nun menjelaskan bahwa peran yang beliau lakukan selama ini adalah peran ‘darurat’ yang seharusnya dilakukan oleh bukan beliau.

“Yang dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia saat ini adalah Pawang”, ungkap Mbah Nun.

Foto: Adin.

Malam semakin larut, KiaiKanjeng membawakan komposisi “One More night” dan “Beban Kasih Asmara”.

Memuncaki Sinau Bareng kali ini, Mbah Nun memberikan satu pandangan,” “Hidup itu: Ada hal yang memang harus kita ketahui. Ada hal yang lebih baik kita ketahui. Ada hal yang lebih baik tidak kita ketahui. Dan ada hal yang sebagian memang harus kita ketahui, dan ada sebagian yang lain yang lebih baik untuk tidak kita ketahui”.

Seperti biasa, acara Sinau Bareng ditutup dengan berdo’a bersama dan jamaah secara bergiliran bersalaman dengan Mbah Nun juga dengan tamu undangan yang berada diatas panggung. (Fahmi Agustian)

Lainnya

Muara Rindu Kiai-Santri

Muara Rindu Kiai-Santri

Madura memang tempatnya para kiai. Perihal bagaimana persepsi tentang kiai itu terbentuk secara historis maupun sosiologis, kita bisa bahas kapan-kapan.