CakNun.com

Radikalis Merah Putih

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit

Agak jengkel tapi juga takjub. Kenapa dalam legenda “Ande-ande Lumut”, yang ditolak lamarannya adalah Kleting Abang (Merah) dan Kleting Putih. Lebih uring-uringan lagi karena yang diterima untuk diperistri Ande-ande Lumut malah Kleting Kuning. Mosok Golkar. Apa Ande-ande Lumut sekarang Muallaf, sehingga terpesona pada KH. Setya Novanto Muttafaqun ‘Alaih. Bagaimana tidak gemes. Kleting Merah dan Putih ditolak karena tidak suci. Kok mau-maunya ditiduri oleh Prabu Yuyu Kangkang sebagai syarat untuk diseberangkan dengan multi-infrastruktur ke seberang sungai, minad-dhulumati ilan-nur, minal kemiskinan ila kemakmuran.

Mbok Rondo Dadapan bangga pada idealisme dan nasionalisme Ande-ande Lumut putra-garudanya. Tetangga sebelah kiri berkomentar: “Merah Putih itu melacurkan diri pada Ya’juj Kapitalis dan Ma’juj Liberal”. Tetangga sebelah kanan nyeletuk: “Merah Putih itu menyembah Thoghut”. Yang di belakang juga ngomel: “Memang mereka itu radikalis merah putih. Kesucian harga dirinya diradikali sendiri

Tetapi mungkin masyarakat sekarang ini sudah tidak mengerti Ande-ande Lumut, Kleting Merah Putih Kuning dan Yuyu Kangkang. Saya seperti nonton audisi babak penyisihan kontes nyanyi Idol-idol itu. Sangat banyak yang tidak tahu bahwa ia tidak bisa menyanyi, tetapi sangat mantap dan malah keras-keras bernyanyi.

Kebanyakan orang juga tidak bisa membedakan antara “bisa berlagu” atau “mampu bernyanyi” dengan “suaranya enak”. Padahal itu dua hal yang sama sekali berbeda. Suara bagus adalah materi alamiah suaranya, jenis bunyinya, rasanya ketika didengarkan, tebal tipisnya. Bisa bernyanyi adalah kemampuan mengolah nada, dari ketepatannya, kelincahan beralihnya, sampai getaran cengkoknya.

Saya termasuk kategori Jahil Murokab itu: tak ngerti dan tak ngerti bahwa saya tak ngerti. Tidak bisa nyanyi dan tidak sadar bahwa saya tidak bisa nyanyi. Tapi saya nyanyi keras-keras. Ini membuat saya juga tidak bisa menilai apakah orang itu bisa nyanyi atau tidak, benar tidak nadanya, tekniknya, manajemen estetiknya. Tak punya parameter untuk menilai Pemerintah ini fals atau pas tone kebijakannya, mau pergi ke arah masa depan mana kok itu lagu yang dinyanyikannya.

Kemarin saya menulis bahwa “semua yang sedang gencar diselenggarakan oleh Oligarki raksasa ini, yang volume dan ragam garapnya baru diketahui publik paling banyak 5%”. Bahwa Reklamasi atau Meikarta hanyalah sebuah alinea kecil dari Buku Besar Neokolonialisme. Mestinya diteruskan sampai berakhirnya era oil dan gas, pengkaplingan dengan konsesi 30-40 tahun energi panas Gunung-Gunung berapi kita yang merupakan 40% simpanan energi masa depan dunia.

Tetapi karena awam, saya berlagak bicara seperti Nabi Muhammad kepada petani kurma: “Antum a’lamu bi-umuri dunyakum”. Kalian lebih tahu urusan dunia kalian. Rasanya memang hanya kata-kata itu yang bisa saya ucapkan kepada Indonesia. Saya bukan petani demokrasi, bukan peternak trias politika, bukan pengarit pilpres pileg pilkada. Di kebun saya tidak ada pohon moderat atau radikal, tidak ada beringin intoleransi, tidak ada tanaman fundamentalisme, apalagi terorisme. Saya bertetangga dengan Jin, Malaikat, Ki Ageng, Masyayikh, Ki Gede, Mawali, Kanjeng Sunan, Demit, para Mokswawan, Sukmawan Panguntal Raga, termasuk komunitas Glundung Pringis. Hymne saya “Wa makaru wamakarallah”.

Kadipiro, 27 Oktober 2017

Lainnya

Pergeseran Tata Nilai

Pergeseran Tata Nilai

Beberapa bulan terakhir ini saya agak sering wira-wiri, nyeberang pulau di daerah-daerah luar Jawa, untuk suatu kepentingan yang berhubungan dengan pendidikan.

dr. Eddy Supriyadi, SpA(K), Ph.D.
dr. Eddot

Topik