CakNun.com

Perspektif “Anak Ideologis” Clifford Geertz terhadap Maiyah

Timothy Daniels, antropolog Hofstra University, Amerika Serikat, mendedah secara fenomenologis Islam dalam pengertian historis kontemporer. Hasil penelitian pascadoktoralnya yang dibiayai penuh oleh Fullbright itu, Timothy publikasikan dalam buku bertajuk Islamic Spectrum in Java (2009) terbitan Ashgate. Ia berhasil mengisi, kalau tidak dikatakan meneruskan, penelitian Indonesianis kawakan Clifford Geertz yang dibukukan dan diberi judul Agama Jawa (1960).

Timothy membagi tujuh bagian inti pembahasan yang meliputi (a) City of Culture, Tourist Objects, and Difference as Fetish, (b) Locating “Islam” Between Thin Veneer and Normative Piety, (c) Dukun, Kyai, and Ustadz: Healing along the Spectrum, (d) Soicial Drama, Dangdut, and Popular Culture, (e) Muslim Puritans, Cultural Dakwah, and Reformation, (f) Student Theatre, Social Critique, and Equalization, dan (g) Maiyah, Community, and Common People.

Kendati semua bab terkesan berdiri sendiri, ia terpautkan oleh kenyataan antropologis: relasi diametral antara Islam dan budaya Jawa berikut keniscayaan yang melingkupinya. Ulasan singkat dalam tulisan ini sekadar dibatasi pada bab tujuh karena secara partikular mendedah topik gerakan Maiyah dan perannya di masyarakat lintas strata sosial. Lewat sudut pandang ideologi, sejarah, dan praksisnya di masyarakat, Timothy, dengan kritis dan analitis, menguak gerakan Maiyah secara komprehensif.

Ia menyebut rekam jejak Maiyah yang telah eksis selama lebih dari dua dekade itu sebagai majelis ilmu yang mendialogkan empat subjek, yakni fundamentalist-sufi-radical-democratic (h.13). Secara semantis Maiyah bermakna kebersamaan. Situasi kolektif yang egaliter dan berorientasi tegur-sapa pengalaman personal dalam Maiyah diuraikan Timothy lewat perspektif gerakan keilmuan.

Ia memandang Maiyah sebagai format baru pencarian apa yang benar ketimbang siapa yang benar melalui pendekatan kasuistik. Ancangan yang dikonstruksi Maiyah demikian Timothy dasarkan atas parktik ber-Maiyah selama dua dekade setelah embrio Pengajian Padhangmbulan di Jombang lahir.

Timothy menganalisis interaksi Maiyah secara linguistik. Dengan bernas ia mengemukakan pendekatan komunikasi Maiyah yang acap berbasis analogi, metafor, dan ilustrasi simbolik lain. Upaya penyampaian dengan formula semacam itu mendukung penjelasan hal-ihwal lebih konkret.

Metode tersebut, menurut Timothy, penting dilakukan manakala melihat kondisi sosiologis peserta Maiyah yang beragama, baik lintas sosial, agama, budaya, usia, dan kepercayaan. Maiyah, dengan demikian, memposisikan diri sebagai mediator dalam menerima pelbagai kemungkinan informasi betapapun sudut, jarak, dan resolusi pandang begitu berlainan.

Timothy menjelaskan sikap baku Maiyah sebagai forum belajar bersama yang cair dan fleksibel (h.153). Oleh sebab itu, Maiyah memungkinkan pelbagai ideologi, aliran, organisasi, sekte, maupun identitas baku lain bertemu dalam situasi sarasehan tanpa mempersoalkan keberbedaan privat masing-masing.

Tak heran bila selama dua puluh tahun Maiyah berkembang, baik di dalam maupun luar negeri, respons masyarakat relatif positif karena absen prasyarat partikular yang acap ditemukan dalam forum diskusi lain. Dengan kata lain, Maiyah, tulis Timothy, “…accommocating and considering a greater degree of dynamism in the interrelations between new religious movements, society, and existing sociopolitical structures” (h.155).

Dalam studinya, Timothy merangkai secara fenomenologis Maiyah lewat perspektif etnografis dan historis. Keduanya dikoneksikan melalui rekam jejak Muhammad Ainun Nadjib—selanjutnya disebut Mbah Nun—semenjak era 70-an manakala ia mulai aktif dalam konstelasi sosial-kemasyarakatan. Sepanjang kiprahnya itu Mbah Nun telah mendalami dan mengintegrasikan bermacam dimensi ilmu yang dikonstruksi dalam cakupan Islam sebagai subjek sekaligus objek.

Karakteristik demikian senada dengan universalitas filsafat ilmu secara epistemologis: ilmu niscaya berpaut erat satu sama lain manakala bersemuka realitas di lapangan. Pandangan multidisiplin ini sekaligus menjadi antitesis praksis pendidikan modern yang mendikotomikan ilmu sebagai sebuah ruang fakultatif yang terpisah dan otonom. Padahal, hakikat ilmu itu sendiri adalah bagian inheren yang berangkat dari kenyataan kehidupan.

Keberagaman unsur pada konteks apa pun dalam Maiyah dijelaskan Timothy sebagai sebuah karakteristik baru praktik keberislaman di Indonesia. Hal demikian dilihat Timothy saat menghadiri Maiyah di Mocopat Syafaat selama beberapa kali kesempatan. Ia melihat KiaiKanjeng sebagai instrumen musik lintas genre karena terdiri atas alat musik modern dan tradisional.

Nama KiaiKanjeng diambilkan dari formasi gamelan yang digubah Novi Budianto. Alat musik ini mampu mengakomodasi jenis musik apa pun: keroncong, jazz, rock, pop, dan lain sebagainya.

Komposisi alat musik yang unik, dengan demikian, secara simbolik mewakili kebinekaan Indonesia tanpa saling menegasikan tetapi justru melengkapi. Kreativitas KiaiKanjeng sebagai unsur integral dalam Maiyah menempati posisi strategis karena ia sekaligus menjadi instrumen mayor selama diskusi diselenggarakan.

Dengan antusiasme seorang peneliti Barat, Timothy menanyakan konten diskusi di Maiyah. Pertanyaan penelitiannya itu ia temukan usai mengalami secara empiris diskusi Maiyah di Mocopat Syafaat. Ia mengawali pertanyaan personalnya itu dengan frasa kunci keterbukaan dialog.

Frasa tersebut Timothy dedah dengan mengungkapkan pola dialog di Maiyah yang berangkat dari segi kegelisahan masyarakat. Gelayut pertanyaan privat dari peserta diskusi Maiyah itu membuka peluang sebesar mungkin dalam meneroka jawaban. Kondisi semacam itu dalam jagat pedagogik dinamakan pertanyaan kontekstual: dari dan melalui subjek ke subjek hingga membentuk komunikasi dialogis.

Despite the obvious attraction of such amazing musical performances, for many, the core of these monthly events is the open dialogues, facilitated and moderated by Cak Nun, involving participants from various layers of society” (h.157).

Tajuk diskusi Maiyah beraneka sesuai kebutuhan masyarakat saat itu. Tema dialog, karenanya, terikat ruang dan waktu. Meskipun demikian, ia bukan berarti menolak referensi masa silam sebagai acuan ancang-ancang keakanan. Pertimbangan peristiwa lampau acap dinarasikan kembali selama diskusi Maiyah karena pertimbangan relevansi dinamikanya masih bertalian dengan peristiwa kekinian.

Hal demikian Maiyah lakukan tatkala mengkaji ayat-ayat Tuhan yang secara masa sudah lewat, namun substansinya melampaui ruang dan waktu. Landasan aksiologis tersebut, dengan demikian, memungkinkan diskusi Maiyah dalam membahas tema-tema aktual tertentu seperti agama, budaya, sosial, ekonomi, media, politik, moral, dan lain sebagainya.

Kecenderungan dialog di Maiyah yang beragam itu melampaui, bahkan menandingi, pola komunikasi modern di pelbagai forum yang sekadar tunggal. Terlebih narasumber (pemantik) diskusi di Maiyah sering diperkaya oleh lintas latar belakang sosial maupun agama sehingga memungkinkan tegur-sapa perspektif yang berlainan.

Oleh karenanya, pencarian apa yang benar bukan siapa yang benar di Maiyah terbuka lebar selama peserta diskusi mempunyai nilai tanggung jawab dan  sikap hormat kepada orang lain. Timothy menulis, “Everyone is encouraged to participate in these dialogues and many men and women from the floor take the microphones making statements and asking questions” (h.157).

Partisipasi publik lintas jenjang sosial di Maiyah selama 5-8 jam dalam rangka pembelajaran kehidupan menjadi titik historis di Indoenesia. Timothy melihat realitas demikian sebagai fenomena sosiologis baru.

Bila empat dekade lampau Clifford Geertz mendikotomikan manusia Jawa menjadi tiga unsur, yaitu abangan, santri, dan priyayi sebagai dimensi terpisah, maka Maiyah mengelaborasikan ketiganya dalam satu forum ilmu. Maiyah, dengan demikian, menelanjangi identitas personal sebagaimana ditesiskan Clifford dan mengembalikannya ke dalam fitrah kudus sebagai manusia yang merupakan hamba Tuhan di bumi.

Lainnya

Warisan DNA

Warisan DNA

Seringkali manusia mengeluh atas perubahan keadaan yang terjadi di luar dirinya, tanpa meresapi bahwa ada andil dirinya di dalam terjadinya perubahan itu.

16 Bom dan Menteri Pertanian

16 Bom dan Menteri Pertanian

Inisialnya PM. Dalam suatu pertemuan tak sengaja di restoran sebuah hotal di Jl Gondangdia Lama Jakarta Pusat, ia menyapa.