Pembubaran Pengajian Gus Dur
Di masa Orba, kalau saya mau baca puisi di depan publik, harus minta izin minimal ke Polres, menyerahkan puisi-puisi yang akan saya baca untuk diperiksa dan ditentukan mana yang boleh dibaca dan mana yang tidak. Atau ada satu dua puisi boleh dibaca, kecuali kalimat-kalimat atau kata yang dicoret oleh Polisi.
Demikian juga acara-acara lain: seminar, simposium, pertunjukan musik, juga pengajian. Kepolisian mengawasi, mengizinkan atau melarang teks, kalimat, kata dan huruf. Kalau penampilnya tingkat nasional, pemeriksaan dilakukan oleh Polda, atau bahkan Mabes Polri. Kalau tingkat “bahaya”-nya ekstra, TNI diperbantukan untuk mengontrol.
Saya diminta berceramah bersama Gus Dur di Jember, dilarang. Tapi spanduk tetap tersebar di jalan raya dan berbagai wilayah Jember: “Selamat Datang di Jember KH Abdurahman Wahid dan Emha Ainun Nadjib”. Dan acara tetap berlangsung. Karena pihak yang berwajib agak lupa-lupa bahwa KH Abdurahman Wahid adalah Gus Dur, dan Emha Ainun Nadjib adalah Cak Nun.
Tidak mengherankan. Pasukan Banser sendiri ketika Presiden Gus Dur ke Malang, para Banser berkoordinasi di antara mereka: “Laporan, nDan. Presiden Abdul Rachman Saleh telah mendarat di Bandara Abdurrahman Wahid”. Kata memang terkadang selip di lidah dan bibir. Gus Dur mendapat jaminan dari pengusaha Madura: “Jangan kuwatir Gus, saya bikinkan gedung khusus untuk kantor PKB. Semua fasilitasnya lengkap, cuma Eternit-nya yang saya bingung pengadaannya…”. Maksudnya Internet.
Pada suatu hari Pesantren Tambakberas Jombang mengadakan seminar dengan pembicara Gus Dur, Prof Dr Nurcholish Madjid dan Bu Megawati. Mestinya dengan saya juga, cuma saya sedang puasa bicara di depan publik, jadi saya hadir saja sebagai pendengar. Karena di samping Bu Megawati pembicaranya adalah tokoh utama Islam, Gus Dur dan Cak Nur, maka acara ini bersuasana pengajian.
Ketika pembicara pertama, Cak Nurcholish Madjid di podium, di luar gedung tiba-tiba terdengar teriakan massal dan keras “Allahu Akbar” berulang-ulang. Saya lari keluar. Ternyata anak-anak kita PMII, Ansor dan Banser bereaksi dan bikin pagar betis untuk menghalangi dua rombongan, pasukan Kodim dan Polres Jombang, jangan sampai mendekat ke gedung seminar.
Saya loncat dan menyongsong Komandan tentara dan Polisi. Dengan merendahkan diri dan penuh sopan santun, saya ajak mereka ke bawah pohon di depan pintu masuk Pesantren dari jalan raya. “Supaya anak-anak ndak kemriyek Pak…”, sambil saya bisikkan pertanyaan: “Sampeyan diperintah untuk membubarkan acara Seminar ini ya?”. Komandan meng-iya-kan. Ada suratnya? Ada, katanya.
Lantas saya usul: “Sampeyan dan pasukan tolong tunggu di bawah pohon ini sebentaaaar saja. Komandan saya antar masuk seminar dan saya dampingi untuk membacakan Surat Pembubaran Acara. Yang penting Sampeyan laksanakan perintah sehingga beres dengan Pak Dandim”.
Demikianlah. Kami masuk ruang Seminar. Saya interupsi, mohon waktu beberapa menit. Kemudian Komandan saya ajak naik podium dan membacakan surat pembubaran. Semua terpana dan bingung. Saya ambil mikrofon: “Bapak-bapak saya mohon acara break beberapa menit. Perkenankan saya mengantar keluar Pak Komandan dan mencoba bicara kepada anak-anak kita di luar agar jangan marah-marah dulu”.
Kami keluar dan saya membisikkan itu kepada anak-anak muda yang progresif revolusioner itu agar tenang sebentar. Pokoknya lima sampai sepuluh menit tolong jangan lakukan apa-apa dulu. Kemudian saya antar Komandan kembali ke pasukannya dan saya bisikkan: “Tolong tunggu saya beberapa menit saja, saya harus kembali ke ruang seminar, mudah-mudahan tidak ada keributan. Yang penting Sampeyan sudah melaksanakan instruksi dengan baik…”
Saya kembali ke ruang Seminar yang gemeremang dan agak bingung suasananya. Saya naik podium. “Bapak-Bapak Ibu-Ibu, acara Seminar kita telah dibubarkan. Jadi marilah kita bikin acara yang baru…”
Saya menengok ke Gus Dur: “Gus, tolong kasih nama acara kita yang baru ini, apa ya?”. Gus Dur dengan kecerdasannya spontan menjawab: “Mauidloh Hasanah, Cak”. Setuju. Itulah hari lahirnya istilah ‘Mauidloh Hasanah’.
Saya umumkan: “Saudara-saudara marilah kita mulai acara Mauidloh Hasanah ini dengan bacaan Basmalah”. Semua membaca bismillahirrohmanirrohim. Kemudian saya teruskan: “Saya persilakan pembicara yang pertama, Bapak Nurcholish Madjid”.
Cak Nur naik dan meneruskan pembicaraannya yang tadi terpotong oleh pembubaran acara. Kemudian segera saya lari keluar menuju bawah pohon di mana saya berjanji untuk menemui Komandan kembali. Beliau dan pasukannya saya ajak mengobrol. “Sampeyan sudah bathi berapa, Ndan?”. Maksudnya sudah punya anak berapa. Mau tidak mau dia menjawab: “Dua Cak”. “Lanang? Wedok?”. “Alhamdulillah satu laki-laki, adiknya perempuan”. “Sekolah di mana?”. “Aslinya Sampeyan dari mana? Kalau Ibu? Sebelum tugas di Jombang dulu tugas di mana?”… Pokoknya saya taburi beliau dengan pertanyaan-pertanyaan persaudaraan, kemanusiaan dan kasih sayang.
Yogya, 6 November 2017