Menyeberangi Jembatan Kewaspadaan
Zaman saya kecil menyeberangi satu lonjor jembatan bambu yang menghubungkan etan kali dan kulon kali adalah tantangan yang mengasikkan. Kedua lengan direntangkan untuk menjaga keseimbangan. Pelan-pelan berjalan, selangkah demi selangkah. Mata menatap titian permukaan bambu yang licin. Lengah sedetik saja badan akan terpelanting ke sungai. Basah kuyup. Sampai di rumah siap-siap disambleki Bapak.
Kenangan bermain masa kecil itu hadir kembali ketika Mbah Nun menjelaskan pengertian takwa. Simulasi contoh yang dipakai Mbah Nun lebih mengerikan: nguwot di atas jumbleng. “Sampah peradaban” manusia bertumpuk-tumpuk di bawah. Bisa dibayangkan, tidak waspada sekejap saja, badan akan meluncur dan muka nyungsep mencium peninggalan peradaban manusia.
Nguwot atau menyeberangi jembatan bambu bukan takut, miris, atau apatis, melainkan waspada—hati waspada, pikiran waspada, kaki waspada, tangan waspada. Keseimbangan menjaga kewaspadaan kerja motorik halus dan motorik kasar, seimbang softskills dan hardskills, seimbang di awal perjalanan dan akhir perjalanan, seimbang antara harapan dan rasa cemas.
Berangkat dari simulasi nguwot di jembatan kita menemukan akurasi sikap waspada. Itulah takwa. Orang yang bertakwa selalu mewaspadai setiap kenyataan yang bergerak di dalam dan di luar dirinya. Bahkan niat berbuat baik memerlukan kewaspadaan ekstra—apakah baik menurut pertimbangan nafsu keinginan atau baik menurut tata nilai syari’, thariq dan shirat yang ditetapkan Allah.
Kalaupun waspada itu identik dengan curiga, maka sikap curiga itu selayaknya diarahkan kepada diri sendiri, tidak kepada orang lain. Sedangkan kepada apapun dan siapapun di luar diri, kita memasang alarm waspada.
Mewaspadai setiap bisikan hati, yuwaswisu fii shuduurinnaas, yang berhembus melalui sapuan lembut suara-suara dalam dada, sungguh lebih berat daripada mencurigai atau mensuudhoni orang lain. Cermat dan teliti niteni gerak internal merupakan refleksi sikap waspada dimana kualitas takwa seseorang sedang dipertaruhkan. Apabila dikaitkan dengan terminologi denotasi-konotasi, takwa adalah mewaspadai gerakan dan bisikan hati, selembut apapun itu, untuk menemukan kemurnian denotasi niat. Agama menyebutnya ikhlas.
Denotasi niat kerap disampaikan Mbah Nun, misalnya: “Mengapa makan? Apa motivasinya? Makan ya makan, karena saya wajib makan. Apa saja kok ditanyakan apa motivasinya!” Orang modern yang gemar bermotivasi-ria menunjukkan indikasi tercerabutnya keyakinan bahwa sesungguhnya manusia bisa mengerjakan perbuatan baik tanpa rumbai-rumbai konotasi.
Sayangnya, kita sedang dimainkan oleh konotasi-internal kesadaran kita sendiri. Talbis itu tidak terutama berasal dari luar. Ia menyamar secara sangat sempurna sebagai malaikat kebaikan sejak dari dalam kesadaran. Merasa diri benar, rumangsa iso, walaupun besarnya hanya seukuran semut pudak, merupakan benih konotasi-talbis yang akan tumbuh menjadi pepohonan yang berbuah sikap gumedhe kepada sesama.
Peperangan menyingkap lapisan-lapisan talbis yang ngendon dalam diri susahnya minta ampun. Maka, ittaqillaaha haitsu maa kunta: waspadalah dengan selalu menjadikan Allah sebagai faktor utama kapan dan dimanapun kamu berada. Terminologi tasawuf menyebut keseimbangan antara khauf (takut) dan raja’ (harapan). Titik tengahnya adalah waspada.
Kalau kutub sebelah kiri adalah rasa takut dan cemas; kutub sebelah kanan adalah harapan dan optimis, maka getaran ke kiri dan ke kanan kadang tidak seimbang. Kita bisa terlempar jauh ke kiri atau kanan. Kadang merasa sangat-sangat cemas, satu jam berikutnya merasa bahagia. Tonggak penyeimbang, paku bumi, yang posisinya tepat berada di tengah sungguh diperlukan. Ia adalah sikap waspada.
Sesungguhnya para kekasih Allah tidak ada kecemasan (memandang masa depan) dan tidak pula merasa bersedih (menengok masa lalu), karena mereka tegak, istiqamah di koordinat waspada. Penekanannya bukan pada tidak cemas atau tidak sedih, melainkan kecemasan dan kesedihan sebagai sifat kamanungsan (basyariah) menjadi tali rahmat yang menghubungkannya dengan Allah.
Sikap waspada dan mewaspadai tidak bersifat liner-dikotomis. Ia bergerak secara dinamis. Setiap orang mengalaminya secara otentik sesuai takaran, bobot, dosis ujian yang diberikan Allah melalui ayat-ayat peristiwa, baik yang samar tersembunyi dalam hati maupun yang kasat mata.
Para wali mendefiniskan takwa dengan ungkapan: memberi pakaian mereka yang telanjang, memberi makan mereka yang lapar, memberi payung mereka yang kehujanan. Ada pula takwa dimaknai sebagai upaya transformasi sosial, saling berdaya dan memberdayakan. Namun, semua amal shalih itu tetap memerlukan kewaspadaan agar tidak memperdaya.
Jadi, waspada adalah sikap ke dalam, sedang gerak keluarnya adalah menjamin keselamatan dan keamanan semua pihak. Perjalanan itu ya ke dalam ya ke luar, ulang-alik, bergetar-getar—setiap keputusan menshare tulisan atau quote misalnya, dituntun oleh sikap waspada terhadap bisikan hati dan gerak pikiran. Apakah keputusan itu akan menjamin keselamatan dan keamanan hidup bebrayan atau memporak-porandakannya?
Yang paling mulia menurut Allah adalah mereka yang memelihara sikap waspada dan akurat mengerjakan amal shalih. Faktor utamanya tetap Allah. Waspada dalam cakrawala kesadaran: bukan apa kata manusia yang kuikuti, tetapi pandangan Allah Tuhanku yang kutakuti. []