Menikmati Kerendahan Hati Bentang Pustaka
Acara Tadabbur Daur dua hari lalu di halaman rumput kantor Bentang Pustaka alhamdulillah berjalan lancar. Bentang Pustaka sebagai penerbit mengungkapkan rasa syukur atas rilisnya Tetralogi Daur karya Mbah Nun. Dengan acara ini resmi Daur menyapa pembaca lebih luas, tak hanya untuk Anak-Cucu dan JM sebagaimana tagline di caknun.com.
Sebelumnya, tetralogi ini merupakan kesatuan 309 esai Daur yang hadir di caknun.com sepanjang 2016. Atas beberapa pertimbangan, dibagilah 309 esai itu ke dalam empat buku serial. Masing-masing adalah Anak Asuh Bernama Indonesia; Iblis Tidak Butuh Pengikut; Mencari Buah Simalakama; dan Kapal Nuh Abad 21.
Tetapi, berbeda dengan tetralogi pada umumnya yang antar masing-masing terbit dengan jeda jarak waktu agak lama, sekian bulan mungkin reratanya, tetralogi Daur ini diterbitkan (selesai cetak) pada waktu yang relatif beriringan. Ini sebuah ketidakbiasaan.
Daur 1-2 dengan Daur 3-4 hanya berjarak dua minggu. Saat rilis malam itu karenanya pembaca sudah bisa mendapatkan keempat-empatnya langsung. Rupanya ini pun dimaksudkan agar keutuhan 309 Daur dapat segera berada di tangan pembaca.
Flash back ke belakang proses terbitnya Daur. Pada awalnya, sekian bulan silam sebelum sampai pada momentum Tadabbur Daur ini, para punggawa Bentang yang notabene anak muda itu mengungkapkan angen-angen-nya andai mereka mendapatkan kehormatan disambangi Mbah Nun. Diam-diam mereka merasa sebagai cucunya Mbah Nun juga! Asik.
Tapi perasaan itu tidak muncul dengan sendirinya. Mereka telah mengawal terbit-ulang tulisan-tulisan Mbah Nun sebanyak 17 judul. Penyunting atau editor pada setiap buku Mbah Nun itu dengan sendirinya harus menyimak pikiran dan perenungan Mbah Nun dan di situ tanpa disadari mereka menyerap sesuatu darinya.
Yang dialami Mbak Intan adalah contohnya. Ia penyunting Bentang yang dipercaya menyelia naskah Daur. Dalam salah satu pertemuan rapat, Ia bercerita akan keterpikatannya pada Daur berjudul Ia Saudaraku. Tetap Saudaraku. Esai ini mengubah persepsinya tentang orang-orang yang terduga “teroris”. Orang-orang yang “sempit” itu tak seharusnya langsung dimusuhi begitu saja. Kita pun ikut bertanggung jawab. Begitu kata Mbak Intan.
Selama ini banyak orang terkena mainstream media Barat dan media Indonesia sendiri dalam mem-framing dan merepresentasikan Islam. Esai Mbah Nun itu memberinya pandangan lebih netral dan independen. Tampaknya ini juga berlaku untuk keseluruhan Daur. Mbak Intan juga terkesan dengan Pancasila Oreng Madura dan Kapal Nuh Abad 21. “Sangat memetakan situasi Indonesia saat ini,” akunya.
***
Demikianlah harapan disambangi Mbah Nun itu telah terbenih.
Tatkala telah dimulai pembahasan awal penerbitan Daur yang akhirnya maujud dalam empat seri ini, tahap demi tahap pun harus dilalui. Sejak dari mengonsep bukunya, desain ilustrasinya, desain cover, penyuntingan, penyiapan kata pengantar, hingga menangani unsur-unsur lainnya semuanya memerlukan waktu dan serangkaian rapat. Beberapa kali saya harus bertandang ke Bentang buat keperluan rapat itu.
Harapan yang telah terbenih itu, bersamaan berjalannya proses penyiapan buku Daur ini, mencuat lagi kali ini melalui Mas Udin, social media analyst Bentang Pustaka. Apakah kira-kira Mbah Nun kerso sekali waktu datang ke Bentang?
Sampai di sini, saya justru merasakan hal yang lain. Bukan jawaban atas pertanyaan ini yang penting. Itu semua bisa sangat mudah bagi Mbah Nun. Yang sreeeet saya garis bawahi adalah kerendahan hati yang menaungi pertanyaan itu.
Bagi Mas Udin, juga teman Bentang lain khususnya jajaran pimpinan, Mbah Nun bukan sekadar seorang penulis. Mbah Nun adalah sosok orang tua. Terbukti, ketawadhu’an yang sama saya lihat malam itu ketika Mas Salman Faridi, CEO Bentang Pustaka, bertemu Mbah Nun. Ia segera salim dan mencium tangan Mbah Nun layaknya santri kepada Kiai.
Suatu ketika dalam bincang santai di Bentang, Mas Salman bercerita. Dulu ia mengenyam pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang ketat atau kaku dalam orientasi dan praktik keislamannya. Sesuatu yang dengan cepat membentuk cara dan sikap hidupnya. Sampai pada suatu ketika tatkala Ia bekerja di Mizan, perubahan demi perubahan Ia alami. Ia lebih luas terhadap keragaman pemikiran maupun kecenderungan dalam memahami agama.
Kondisi itulah yang rasanya membuat Mas Salman tahu, secara subjektif tentunya, letak Daur dalam konteks krisis sikap beragama maupun krisis kemanusiaan modern pada masa kini, karena butir-butir Daur itu membawa pembaca ke detail-detail persoalan manusia modern yang complicated. Itu sebabnya, untuk tetralogi Daur ini, Mas Salman sudah menghadirkan tua tulisan: Kata Pengantar dalam Buku Daur dan satu tulisan ringkas bertajuk Perisa Tuhan yang Ia ulas saat Tadabbur Daur malam itu.
Kehadiran Mbah Nun di kantor Bentang itu menurut saya istimewa. Ada nuansa keseganan dan ketakziman kepada Mbah Nun seperti saya rasakan terpancar dari sosok Mas Imam Risdianto, Pemimpin Redaksi Bentang, yang menemani Mbah Nun selama di ruang meeting Bentang sebelum menuju panggung Gazebo tempat para pembicara membahas Daur.
Ada banyak penulis tentunya yang karya-karyanya diterbitkan Bentang. Tetapi Mbah Nun berbeda dari lainnya. “Ideologi” kepenulisannya yang non-penulis menempatkannya sebagai penulis yang tak bisa ditakar dalam kategori-kategori baku. Sebagaimana kiprah beliau sendiri yang lintas dan bersentuhan atau tersentuh oleh macam-macam soal yang perlu diresponsnya.
Karenanya, salah satu muatan obrolan di ruang meeting itu, Mbah Nun melontarkan pertanyaan yang tak lazim, “Ada nggak ya yang nulis dunia. Kalau saya ini kan penulis lokal.” Yang dimaksud menulis dunia memang adalah menulis tentang sesuatu yang kadarnya dunia atau merupakan inti dunia. Tetapi yang dimaksud beliau adalah penulis yang sudut pandangnya tentang dunia tidak terseret oleh mainstream dunia itu sendiri.
Saya ikut terperanjat dengan pertanyaan itu. Tak perlu saya teruskan imajinasi saya tentang pertanyaan rendah hati ini dan kemungkinan hubungannya dengan Buku Daur. Belum sempat terdiskusikan lebih jauh, Mbah Nun harus segera bergabung ke panggung menemui para pembaca Daur untuk menyampaikan apa-apa yang dirasakan dan dipikirkannya mengenai Buku Daur ini.
Tapi saya mencatat, pertanyaan itu sangat tepat memang bila disodorkan kepada lembaga penerbitan. Saya yakin Mas Imam pun akan merenungi pertanyaan tak lazim itu. Pertanyaan yang semestinya membawa para insan penerbitan untuk terus menggali dan mencari buat turut menjawab zaman.
***
Saya menemani Mas Imam Risdiyanto menyimak dialog Mbah Nun dengan hadirin di sebelah kiri panggung. Terlihat dengan jelas audiens meluber hingga halaman depan kantor Bentang. Jumlah yang melebihi kebiasaan peluncuran atau diskusi buku selama ini di Bentang.
Ada juga hal lain yang saya catat: siang-sore hujan sempat turun. Saat acara hujan sangat toleran. Usai acara hujan datang kembali meski tak lebat dan tak lama. Boleh jadi benar yang dilontarkan Mbah Nun di tengah acara. “Saya ragu apa yang membuat Anda membeli buku ini dengan isinya yang begitu rupa. Satu-satunya kemungkinan adalah karena mendapat hidayah Allah,” kata Mbah Nun disambut tawa hadirin merasa gimana gituh. []
Yogyakarta, 14 Juni 2017