Sungguh di luar dugaan saya. Ada pengajian yang di tengah sesi dialognya menerangkan bagaimana cara nggrendo dan mbubut yang benar. Berlangsung “live” dialog antara Cak Kanip dengan salah satu jamaah yang tergolong “pemula” untuk urusan grendo dan mbubut. Gayeng dan penuh canda tawa tapi tidak mengurangi keseriusan.
Adegan itu berlangsung di Pengajian Padhangmbulan beberapa bulan lalu. Padhangmbulan tidak hanya dimuati tema-tema yang berat. Bahkan persoalan kecil yang paling sehari-hari—tema diskusi yang akan ditertawakan oleh dunia akademik kampus—memperoleh porsi yang tepat untuk membuka pintu-pintu ilmu. Tidak ada yang sia-sia sehingga jamaah Maiyah memiliki sikap waspada dan peka terhadap setiap momentum.
Di tengah praktek pendidikan yang kian eksklusif, mewah dan mahal, Padhangmbulan menjadi Majelis Ilmu yang dihadiri oleh jamaah dari latar belakang pendidikan, ekonomi, politik, aliran, ormas yang beragam. Katakanlah ada seribu jamaah yang hadir, maka terdapat seribu warna—lengkap dengan detail kenyataan lipatan-tikungan pemikiran, fakta psikologis, getaran rohani yang bergelombang-gelombang.
Bukan perkara yang mudah menyatukan minat dan perhatian sejuta gelombang itu agar tetap fokus pada tema nggrendo dan mbubut. Hingga pada tingkat bagaimana nada suara, gaya berbicara, gerakan tubuh, spontanitas nyrekal, pilihan diksi dari salah satu jamaah yang terlibat dialog di panggung, memperoleh perhatian dan respons yang menggembirakan. Semua saling ikhlas. Semua saling ridlo.
Saya jadi teringat kisah Markesot saat menghadiri diskusi para mahasiswa. Ungkapan bahasa Markesot yang polos, jujur dan bloko suto terdengar asing dan aneh di telinga kaum intelektual. Markesot mengancam validitas dan akurasi keilmiahan diskusi. Mbah Nun membela Markesot. Intinya, seperti tertulis di Tetes: “Apa gunanya ilmu kalau tidak memperluas jiwa seseorang sehingga ia berlaku seperti samudera yang menampung sampah-sampah? Apa gunanya kepandaian kalau tidak memperbesar kepribadian manusia sehingga ia makin sanggup memahami orang lain?”
Antara profesor dan praktisi mesin bubut, calon gubernur dan pedagang kaki lima, ilmuwan dan buruh tani melebur dalam harmoni kemesraan dan kebersamaan—yang menurut istilah pakar ilmu sosial Perancis, Pierre Bourdieu, tidak ada lagi “rasisme intelegensi oleh kelas yang dominan”.
Rontoknya dominasi rasisme intelegensi di Maiyah bukan hanya berlangsung pada strata kelas sosial, ekonomi dan agama. Diskusi mesin bubut dan grendo yang diapresiasi secara ikhlas dan menggembirakan merupakan fakta tak terbantahkan bahwa Padhangmbulan dan Maiyah lahir tidak dari rahim materialisme pendidikan—ketika orang yang berpendidikan merasa lebih berkualitas, lebih unggul, lebih mulia daripada mereka yang tidak makan bangku sekolah.
Parahnya lagi, orang yang berpendidikan diam-diam memandang rendah orang yang tidak berpendidikan. Duri ananiyah ini menjangkiti orang yang merasa dirinya berpendidikan. Journal of Experimental Social Psychology menyebutnya edukasionisme—orang berpendidikan menciptakan kesenjangan terhadap orang yang kurang berpendidikan.
Diakui oleh Bourdieu sistem pendidikan diciptakan oleh kelas penguasa untuk memecah belah masyarakat menjadi strata-strata pemikiran, kelas-kelas sosial, kamar-kamar aliran, kantong-kantong politik. Pecahan dan kepingan-kepingan itu lantas digiring untuk menanam selera, memasang ambisi, memimpikan angan-angan yang sama: kaya dan berkuasa.
Demikianlah, edukasionisme dan dominasi rasisme intelegensi memecah manusia menjadi kepingan-kepingan. Maiyah menyatukan kembali kepingan-kepingan itu, baik dalam skala per individu, strata dan golongan hingga praktek hidup berbangsa yang kian absurd. []