Kena Karma
Bangunan dan mekanisme wirid ditata secara intelektual. Apalagi dzikir. Mengingat. Memadatkan ingatan. Itu peristiwa di kepala. Menyatu nuansanya dimensinya dengan dada hati qalbu fuad shudur. Kalau mantapnya mengingat sesuatu 4444 kali ke hadapan Allah, itu juga pekerjaan sel-sel otak, hati tak bisa menghitung, sementara kepala tak paham cinta. Daur 64 – Wirid Makalah
MESTAKUNG. Kata yang akhir-akhir ini saya sadari akan kebenaran dan keajaiban-nya. Mestakung adalah singkatan dari seMESTA menduKUNG. Kata salah satu guru saya, bahwa Al-Qur`an itu hanya sekitar tiga puluh persen saja membahas tentang akidah dan akhlak. Sisanya menyinggung babakan alam semesta raya ini. Artinya, alam ini merupakan ‘buku tema’ besar yang manusia dipersilakan untuk mempelajarinya. Belajar membaca, mengamati, memperhatikan, mengenal tanda-tanda (niteni) agar manusia dapat mengambil intisari tentang apa sejatinya kehidupan dan bagaimana cara menemukan Tuhan.
***
12 tahun silam. Tepatnya tahun 2005. Ketika itu saya baru lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Ibu memberi saran kepada saya untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
“Kuliah ning UNS Solo wae lhe, cerak karo omah. Ambil PGSD. Ibu seneng kalo mbesok ada anaknya ibu yang bisa jadi guru. Syukur-syukur jadi PNS.”
Kira-kira seperti itulah saran dan masukan dari seorang ibu kepada si anak bungsunya yang baru saja “gantung” seragam putih abu-abu.
Saya yang masih berjiwa muda dan bergelora kala itu, dengan entengnya menjawab, ”Emoh bu, jadi guru itu ndak keren blas. Saya pengen kuliah di Jogja. Saya mau jadi seniman dan kelak bisa jadi artis terkenal.”
Jawaban di atas mantap terucap dari mulut saya. Tanpa pikir panjang, dan saran dari ibu seperti masuk telinga kiri lalu keluar lewat telinga kanan. Karena saya ngotot dan kekeh, maka dengan berat hati ibu pun mengabulkan keinginan saya untuk kuliah di Jogja.
***
Singkat cerita, setelah terjun di dunia kerja dan mencicipi berbagai bidang pekerjaan, akhirnya pada tahun 2013 lalu, Tuhan ‘mengirim’ saya masuk dan ‘nyemplung’ ke dunia pendidikan. Atas saran salah satu saudara, saya diterima untuk menjadi tenaga pengajar atau guru di sebuah SD swasta di kota Bekasi. Seiring berjalannya waktu, hari-bulan-tahun saya semakin menikmati jobdesk saya yang baru sebagai guru. Mengajar itu ternyata menyenangkan. Mengajar itu jebul tidak membosankan. Berbagi ilmu, cerita, pengalaman bersama anak-anak itu sangat mengasyikkan. Ada semacam kepuasan batin tersendiri, yang tidak bisa dibeli. Yang mungkin tidak saya dapatkan selama ini atau mungkin inilah pekerjaan yang sebenarnya saya cari.
***
Awal tahun 2016 saya mendapat kabar duka. Simbah putri saya mulai gerah, sakit-sakitan. Kalo wong jowo bilang; Loro tuo. Ya, simbah putri saya memang sudah sepuh, usia beliau sudah memasuki 85 tahun. Dan di tanggal 14 Mei 2016 dinihari, simbah di’pundhut’ oleh Sang Illahi. Kami sedih karena berpisah, tapi kami lega dan bahagia karena bisa menuntun dan menemani hari-hari akhir simbah dipeluk maut. Alhamdulillah ketika itu hari jumat dan semoga simbah putri husnul khotimah.
Bersebab ibu tinggal seorang diri di rumah kampung (Sragen), maka saya putuskan tidak kembali lagi ke Bekasi. Melalui bantuan seorang teman, alhamdulillah saya dapat bekerja dan kembali mengabdi di SD Negeri yang tidak jauh dari tempat saya tinggal dan Alhamdulillah bertahan hingga sekarang.
***
Saya istighfar tiga kali, dan saya lanjutkan mungkin lebih dari seribu kali. Saya teringat dengan ucapan ibu pada saat saya lulus SMA tahun 2005 lalu. Ibu menyarankan agar saya kuliah mengambil jurusan PGSD, yang nantinya diharapkan bisa menjadi guru. Sang waktu berlari, musim pun berganti. Ucapan ibu saya akhirnya terbukti dan ‘malati’. Saya terkena ‘karma’ ibu saya sendiri. Saya ditikam kutukan 8 tahun silam.
Tidak perlu marah pada kenyataan itu. Tuhan memang menciptakan manusia dengan berbagai kelengkapannya termasuk kelemahan, minimalnya ilmu, sedikitnya pengetahuan, lalainya kesadaran dan konyolnya hitungan —Daur 64 – Wirid Makalah
Saya tersadar, kenapa dulu saya ngeyel, menolak mentah-mentah nasihat bijak ibu. Mungkin dulu dikarenakan kelemahan akal saya, minimnya ilmu, sedikitnya pengetahuan, lalainya kesadaran, dan konyolnya hitungan. Dan saya tidak perlu marah kepada kenyataan.
Kenyataannya sekarang saya menjadi guru. Itu semua gara-gara ucapan sang Ibu. Dan kini saya menertawakan diri saya sendiri. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Ucapan ternyata doa. Apalagi yang mengucapkan seorang ibunda. Ibu yang mengandung, melahirkan, menimang, merawat, dan membesarkan buah hatinya.
Lho apa yang tidak berdzikir: nafasmu, detak jantungmu, mengalirnya darahmu, berputarnya sel-sel terkecilmu. Tuhan memberitahukan bahwa semua yang di langit dan bumi bertasbih kepada-Nya, shalat kepada-Nya, berdzikir dan wiridan kepada-Nya. Tidak hanya manusia dan makhluk hidup lainnya. Tapi juga gunung, angin, daun, embun, asap, ikan-ikan dan burung-burung. Bahkan burung disebut langsung oleh Tuhan sebagai contoh makhluk yang bertasbih dan sholat. —Daur 64 – Wirid Makalah
Kata-kata ibu saya adalah wiridan luar biasa. Gerak bibir ibu saya merupakan dzikir eksklusif dan paling mutakhir. Nafas, aliran darah, detak jantung, gerak tangan dan kaki Ibu saya seluruhnya adalah DOA. Doa sakti mandraguna. Dan semesta ini mendengarnya, turut mendukungnya, ikut serta mengupayakannya dan setia meng-amin-kannya (MESTAKUNG). Lalu melaporkannya ke meja Tuhan, hingga kemudian: KUN! tertitah dari Tuhan.
***
Terakhir, usai mentadabburi Daur 64 – Wirid Makalah ini, Alhamdulillah saya menemukan mutiara baru. Bahwa ucapan adalah doa yang didengar sedangkan tulisan adalah doa yang dibaca. Siapa saja yang mendengar ucapan ini, siapa yang membaca tulisan ini berarti mereka men-doa-kan yang menulis Daur dan Tadabbur Daur. Semoga.
Dan terakhir sekali, sugeng ambal warsa kagem Mbah Nun yang ke-64. Mugi panjang ‘umur’, sehat wal ‘afiat.