Jalan Sepi yang Menenangkan
Jam dinding menunjukkan jam 9 malam, suhu udara di Xiamen semakin menurun, ditambah lagi angin yang berhembus membuat kami berjalan sambil menggigil. Sambil berjalan, kami berlima berbincang-bincang hangat perihal langkah apa yang akan diambil setelah wisuda bulan Juni tahun ini. Ada yang ingin melanjutkan studi ke jenjang S2, ada yang ingin pulang mengabdi kepada negara sebagai tenaga pengajar Bahasa Mandarin di daerahnya masing-masing.
Sesampai di kamar, kurebahkan tubuhku di kasur dan aku bersembunyi di balik selimut untuk menghangatkan tubuh. Kupejamkan mata perlahan, tiba-tiba aku teringat ucapan salah satu temanku yang mengatakan, sebaiknya kita melanjutkan studi kita ke jenjang S2, agar masa depan kita terjamin.
Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah tujuan belajar itu untuk mendapatkan pekerjaan yang nyaman? Apakah ada jaminan semakin tinggi titel yang kita capai, maka semakin tinggi pula kesempatan kita untuk sukses.
Sukses? Apa makna sukses? Apakah sukses itu hanya berhubungan dengan kekayaan? Dan apakah benar tujuan belajar memang untuk menjamin masa depan? Seketika itu aku teringat dawuh Mbah Nun di Daur 56 – Tak Ada Cita-Cita Yang Tercapai.
“Karena cita-cita pribadi itu sangat mudah tercapai, apalagi bagi beliau yang segala sesuatunya dijamin oleh Tuhan. Tetapi Kanjeng Nabi tidak pernah mengakui kepentingan pribadi itu sebagai atau menjadi cita-cita. Yang Rasional adalah akhlak mulia ummat manusia yang menghasilkan keadilan di bidang apapun di antara mereka. Dan Beliau menangis tiap malam karena tahu persis bahwa cita-cita tidak akan pernah tercapai selama kehidupan di dunia”.
“Belajar ya belajar, cukup diniatkan karena Allah, tidak usah ditambahi embel-embel untuk menjadi kaya ini dan itu. Sama seperti shalat, shalat cukup diniatkan untuk Allah, karena Bukan Sorga Berakibat Tuhan (Daur 38)”, gumamku. Dan seperti yang sering didawuhkan Mbah Nun “Kalau kita sudah menjalani kewajaran hidup dan kerja keras, kaya ya alhamdulillah, miskin ya alhamdulilah”. Akhirnya kusudahi percakapan dengan diriku sendiri dan mulai terlelap tidur.
Semenjak berkenalan dengan Maiyah, aku seolah menjalani jalan sepi, jalan yang aku ambil sering kali bersebrangan dengan kebanyakan orang. Akhirnya yang sering aku lakukan adalah berbicara dengan diriku sendiri. Sungguh sepi, tapi kesepian ini sungguh membuat hidupku terasa semakin tenang, hati dan pikiran semakin jembar. Mungkin bukan aku saja yang merasakan, Jamaah Maiyah lainnya pasti juga banyak yang merasakan. Maka beribu terimakasih aku haturkan kepada Mbah Nun yang sudah menamkan pelok Maiyah dalam kehidupan kami. Semoga pelok ini tumbuh subur dan berbuah, sehingga bisa dinikmati oleh orang banyak.