Indonesia Tidak Belajar kepada Yogya
Beruk mengemukakan bahwa orang sekarang cenderung merasa lebih hebat dari orang dulu. Masyarakat sekarang merasa lebih maju dari masyarakat dulu. Peradaban manusia sekarang diam-diam memastikan di dalam dirinya bahwa mereka lebih pandai dari manusia zaman dulu.
Parameter yang menjadi landasan rasa lebih hebat itu terutama Sekolahan, Teknologi dan gebyar hedonisme materialistik mereka. Ini suatu tema luas dan pembicaraan sangat panjang rentangnya, serta komplikated mosaik konteksnya. Beruk bilang tidak ingin berdebat soal ini, terutama karena setiap orang yang berdebat di dunia modern hampir selalu hadir dengan parameter subjektifnya masing-masing.
Orang zaman sekarang tidak merasa perlu belajar kecuali hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan nafsu dan kemewahan hidup mereka. Tidak punya kemampuan untuk berdialog dengan kerendahan hati dan kesadaran bahwa kebenaran pada setiap manusia itu bersifat relatif. Mereka tidak siap untuk “sinau bareng”. Kalau bertemu, niatnya adalah mempertahankan kebenaran yang dipahaminya, kemudian diam-diam memaksakannya kepada orang lain.
Mereka tidak punya kebiasaan untuk bersama-sama mencari kebenaran. Tidak cenderung datang dengan “biso rumongso”. Malahan menantang siapa saja di luar dirinya dengan sikap mental “rumongso biso”, merasa unggul, merasa paling benar, merasa pasti masuk sorga dan semua yang akan ditemuinya adalah para penghuni neraka. Itu pun sibuk dan selalu ribut dengan menyimpulkan “siapa yang benar” dan “siapa yang salah”. Siapa-siapa yang dianggap benar, sehingga dia “pro”, maka disimpulkan orang itu adalah benar 100%. Sedangkan yang salah pasti salah 100%.
Lebih parah lagi karena pada setiap persaingan, yang menang disimpulkan sebagai yang benar. Yang benar pasti berkuasa. Yang berkuasa pasti baik. Yang baik pasti tidak sedikit pun ada buruknya. Bahkan variabelnya berkembang-kembang: yang kaya itulah yang menang, benar, baik, sukses, ditambah diridhoi Allah dan masuk sorga. Sampai-sampai almarhum Asmuni dalam sebuah episode Srimulat berkata lantang: “Saya kan kaya, maka saya Lurah. Lurah yang kaya tidak mungkin salah, tidak mungkin buruk, tidak mungkin kalah…”
Bahkan Mahapatih (Perdana Menteri) Gadjah Mada setiap kali berkunjung ke Yogya, diam-diam bergumam: “Di mana letak saya di Universitas kebanggaan cucuku Yogya ini? Saya tidak menemukan diri saya di prinsip berpikir mereka. Saya tidak berdetak bersama jantung mereka. Saya tidak mengalir di darah mereka. Saya tidak merupakan tiang utama peta berpikir mereka. Kenapa Sekolah ini diberi nama menggunakan nama saya? Tapi untunglah namanya bukan Ratu Shima atau Pangeran Padma, sehingga tidak lebih runyam lagi harkat rohani Nenek dan Kakek saya itu”
Kata Beruk, memang sungguh mengherankan manusia zaman sekarang. Bodoh kalau Gadjah Mada menuntut Lembaga Gadjah Mada beserta para kaum terpelajarnya belajar kepadanya. Sedangkan Indonesia didirikan dengan “didukuni” oleh Yogyakarta, ditraktir menggaji pemerintahannya di tahun-tahun awal, dipinjami tanah, gedung dan fasilitas-fasilitas – tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa Indonesia belajar kepada Yogyakarta.
Entah anak siapa Indonesia itu. Tiba-tiba lahir sebagai Republik, sebagai Negara, bersifat Kesatuan, dengan tata aturan yang tidak terkait dengan asal-usul sejarah yang melahirkannya. Tanpa pernah bertanya atau belajar kepada para Leluhurnya. NKRI ini lahir dari Ibu Pertiwi, tetapi seakan-akan Bapaknya bukanlah Bangsa Indonesia, yang kandungan nilai sejarahnya hampir tiga Milenium sedemikian dahsyatnya.