Iman, Hijrah, dan Jihad: Siklus Kesadaran Hidup

Ada beragam idiom perihal hidup, salah satunya adalah sebuah putaran. Allah SWT sendiri mengajari kita untuk terus-menerus meneguhkan bahwa hidup kita adalah Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun. Yakni sesungguhnya kita adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kita akan kembali.

Sebenarnya hanya berbekal kalimat sakti itu kita sudah cukup. Bahkan, sangat cukup untuk menegakkan hidup, menjalani kehidupan dan mencari penghidupan. Begitu masalah menghimpit, segala hal menjadi rupek, kita tak usah khawatir. Sebab, toh peristiwa itu juga berasal atau didatangkan hanya oleh Allah Swt. Dan, lambat waktu, juga bakalan kembali kepada-Nya. Atau begitu kita terlena hingga terperosok akibat nikmat yang diberikan Allah, lagi-lagi kita musti percaya bahwa itu berasal atau didatangkan hanya oleh Allah dan bakal kembali kepada-Nya. Singkatnya, itu sebuah keniscayaan suatu keseimbangan atas suatu hal.

Namun, dasarnya kita sudah di-pal, sudah didaulat sebagai manusia yang amat zalim dan bodoh (QS. Al-Ahzab: 72), bahkan sangat lemah (QS. An-Nisaa`: 28), kita tak pernah belajar atas peristiwa yang kita alami sehari-hari. Barangkali itu bisa dimaklumi. Namun, ketika Al-Qur`an sudah diturunkan dan jelas-jelas sebagai petunjuk, lantas kita tak belajar dan masih melakukan kesalahan, apakah itu bukan sebuah kezaliman dan kebodohan? “Maka, kezaliman dan kebodohan mana lagi yang engkau dustakan?,” mungkin pertanyaan itu memang pantas dialamatkan kepada kita semua.

Siklus Kesadaran Hidup

Di pertengahan bulan November 2017 lalu, Simbah Muhammad Ainun Nadjib mengingatkan kembali term Iman, Hijrah, dan Jihad. Beliau menegaskan bahwa hal itu semestinya menjadi siklus kesadaran hidup. Yakni pertama kita mesti beriman, lalu berani hijrah, lantas berijtihad. Dan ketika sudah sampai tahap berijtihad, kita mesti mengecek kembali iman kita.

Nah, dari situ saya terketuk untuk lebih memahaminya satu persatu. Apa sebenarnya iman, apa sebenarnya hijrah dan apa pula sebenarnya ijtihad.

Pertama, Iman. Barangkali kita sudah sangat familiar dengan kata tersebut. Bahkan, kita pun sepakat bahwa secara etimologi, kata iman diambil dari kata kerja amana-yu`minu yang berarti percaya atau membenarkan. Namun, ketika kondisinya sedemikian gelap, segala hal menghimpit kita, pemahaman itu seakan-akan sulit diterima akal. “Hmm…mumet ndase mikir cicilan piye arep iman?,” mungkin seloroh itu diam-diam kita gumamkan.

Nah, dalam hal peneguhan siklus kesadaran hidup, barangkali iman mesti kita pahami tak hanya sebagai sebuah kepercayaan atau pembenaran atas suatu hal. Tapi, mesti kita pahami sebagai sebuah sikap penerimaan. Meminjam ajarannya Ki Ageng Suryomentaram, mungkin pengejawantahan sikap iman itu: saiki (sekarang), kene (di sini), ngene (apapun keadaannya), aku gelem (aku mau).

Dengan pemahaman seperti itu bakal mengantarkan pada pemahaman bahwa kita ini memang bukan siapa-siapa. Kita itu amat sangat biasa saja. Jadi, titik beratnya sikap iman pada penerimaan. Penerimaan atas ketidaktahuan. Hmm…mungkin kita selama ini memahami bahwa iman itu mesti dengan pengetahuan. Tapi, sebenarnya tak begitu-begitu amat. Yang lebih nandes, bisa menancap dalam kesadaran kita sebenarnya adalah justru karena kita tidak tahu, maka kita beriman. Nah, jika sudah demikian, efeknya adalah kesempurnaan. Ya, manusia justru harus sempurna. Dan sempurnanya manusia adalah bersikap apa adanya atau bersikap sesuai dengan kehendak Tuhannya.

Kedua, Hijrah. Lagi-lagi mungkin kita juga sudah familiar dengan kata ini. Bagaimana tidak familiar, saat ini kata itu seakan-akan sudah jadi kata ampuh bagi sebagian golongan. Ya, untuk menyebut perubahan sikap seseorang. Misalnya, mantan penyanyi rock ternama hijrah, atau artis A kini mengenakan jilbab sebagai tanda hijrahnya. Nah, kita mungkin lantas bertanya-tanya, apa sih sebenarnya hijrah itu? Apakah sebatas perubahan penampilan semata?

Jika menirukan jawaban Rasulullah ketika ditanya sahabat pasca hijrah. Maka, saat ini sudah tak ada hijrah setelah Penaklukan Makkah, yang ada jihad dan niat. Ya, secara harfiah memang demikian. Namun, jika dikontekstualisasikan, maka makna hijrah adalah meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Swt dan bergerak menuju apa yang diizinkan-Nya. Jadi, hijrah itu ada banyak bentuknya. Ia bisa hijrah dari kekufuran menuju iman, hijrah dari maksiat menuju taat, hijrah dari duniawi menuju ukhrawi, hijrah dari penyembahan Thaghut menuju kepada Allah semata, hijrah dari ananiyah egoisme menuju itsar (mementingkan orang lain), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Singkatnya, dalam perkara hijrah ini, titik beratnya adalah pada niatnya, sebagaimana ditegaskan dalam HR. Bukhori: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan balasan bagi tiap-tiap orang tergantung apa yang diniatkan. Barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.

Ketiga, Jihad. Secara etimologi, jihad bermakna berjuang dengan sungguh-sungguh. Nah dalam hal ini, sebaiknya kita juga jangan melupakan kata ijtihad dan mujahadah. Sebab, ketiga kata tersebut saling berkaitan. Yakni, jika jihad adalah perjuangan yang bersifat jasmaniah. Maka, ijtihad adalah adalah perjuangan intelektual. Segala fenomena berpikir, paradigma teori, pengembangan wacana, pembaharuan tafsir, kepekaan ijma’, kejelian menguak rahasia ilmu-ilmu, demokrasi dan kemerdekaan berpikir–dan apa saja yang sifatnya mengeksplorasikan rahmat Allah yang bernama akal–itulah ijtihad. Dan, mujahadah adalah perjuangan dalam konteks dan di wilayah psyche dan spirit hidup. Pusat subjeknya adalah hati.

Di atas kertas, mungkin terkesan gampang dipahami. Tapi, jika sudah dihadapkan pada sebuah realita, pasti setengah mati mempraktikkannya. Ketika kita diganjar peristiwa galau, mungkin hati kita tenang karena punya keyakinan badai pasti berlalu. Tapi, saat kita bahagia, lantas kita tiba-tiba amnesia bahwa hari cerah pun berlalu. Maka, dialektika jihad, ijtihad dan mujahadah, seakan-akan mati, mejen begitu saja.

Nah, dalam fase ini, kita mesti kembali ke awal. Mengecek kembali iman kita. Menyadari bahwa apapun yang terjadi mesti kita imani, mesti kita terima. Jurusnya, saiki (sekarang), kene (di sini), ngene (apapun keadaannya), aku gelem (aku mau). Lantas beranjak hijrah dan berjihad sampai berulang-ulang menjadi sebuah siklus kesadaran hidup kita.