CakNun.com

Gudèl Ngeloni Kebo

(Yuwaswisu fi Shudurinnas)
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit

Bertubi-tubi sejumlah pembaca bertanya: “Kok tulisan Sampeyan mubeng-munyer, berputar-putar dan bertele-tele?”

“Saya menyesuaikan karakter dan irama”, saya menjawab seperlunya, “apa yang tidak mubeng-munyer di Negeri ini. Indonesia maupun Yogya. Yang mana yang tidak berputar-putar dan bertele-tele”

“Nulis yang efektif dong, menuju sasaran”, aku dikejar lewat japri.

“Aku menikmati istidraj”, sekenanya kujawab, “Treatment Tuhan ke manusia kan ada empat”

“Apa saja empat itu?”

“Pertama, hidayah, bersikap normal, ngasih tahu baik-baik. Kalau benar dijunjung. Kalau baik dibalas kebaikan berlipat. Kalau bijaksana ditinggikan derajatnya. Kalau mulia disempurnakan pangkat rohaninya”

“Lantas?”

“Kemudian istidraj. Mbombong. Menyorong searah dengan gejala perilaku manusia. Ana ‘inda dhonni ‘abdi bii. Aku berlaku sesuai dengan prasangka manusia atas-Ku. Kalau manusia muter-muter, ya Kuputer-puter. Kalau manusia meniupkan kabut, ya Kutambahi kabut. Kalau manusia menyamar-nyamarkan, ya Kutambahi lebih samar…”

“Waduh kok gitu…”

“Kalau manusia tidak menggunakan patrap dan proporsi, ya Kutambahi nir-patrap dan disproporsi.

“Masak Tuhan bersikap begitu?”

“Pelajari saja perilaku-Nya”

“Gimana cara mempelajari perilaku Tuhan?”

“Teliti hidupmu dan kehidupan sebanyak mungkin orang. Pakai Ilmu Titèn, di area sosial, budaya, terutama politik. Kemudian himpun dan bikin bagan tentang pernyataan Tuhan sendiri. Teliti gejala dan kecenderungan sikap-sikap-Nya”

“Ada buku kepustakaannya?”

“Cari Kitab Suci yang Tuhan sendiri menjamin orisinalitasnya. Yang tidak ada peluang untuk mengubahnya, untuk merevisi atau mengamandemennya. Karena jutaan orang hapal luar kepala. Kalau ada satu huruf diubah, tidak hanya dikontrol secara akademis tekstual, tapi juga langsung tidak enak rasanya. Ada kontrol estetika, kenyamanan dan ketidaknyamanan artistik. Ada kewaspadaan nuansa. Setiap ayat dan huruf di Kitab Suci itu kompatibel, menyatu, nyawiji, matching, dengan aliran darah, detak jantung dan metabolisme jasad maupun rohani manusia. Ada ganjalan, perubahan atau keanehan se-zarrah saja, langsung naluri manusia merasakannya dan memberontak”

“Emang bisa dan bener begitu?”

“Tidak ada jawaban kecuali engkau memasukinya, menyelam, berenang-renang, ridla kepada setiap tetesan airnya, mensyukuri dan menikmatinya. Kalau kau menolaknya, akan jadi daging tumbuh yang membuatmu tersiksa sendiri”

“Ada jawaban di situ atas semua pertanyaan saya?”

“Tidak ada satu pun jawaban atas ketidaktulusan hatimu, ketidakmurnian pikiranmu dan ketidaksucian niat di lubuk kedalaman jiwamu”

“Wah kok filosofis banget…”

“Manusia tidak disebut pohon atau kambing karena ia punya filosofi. Kalau alam, ia adalah makhluk yang orisinal mengalami sesuatu tanpa harus menyadari dan merumuskan pengalamannya. Kalau manusia, punya perangkat yang membuatnya bisa mengambil jarak intelektual dari orisinalitas dan otentisitas kemakhlukannya”

“Cak, ini bab Keraton Yogya, bukan tentang hewan…”

“Karena bukan hewan, maka ia punya perangkat yang namanya akal. Akal bekerjasama dengan hati, hati itu nukleusnya kalbu. Nukleolus-nya nurani. Manusia berlayar di samudera pertanyaan-pertanyaan. Perahunya akal. Layar penentu arahnya nurani. Jawaban diperoleh atau tidak bergantung ketepatannya menentukan manajemen layarnya”

“Apakah dengan kalimat-kalimat itu Sampeyan sebenarnya berbicara tentang Keraton Yogya”

“Di Jawa itu namanya sawang-sinawang. Kasusnya pada masing-masing kemungkinannya dua: biso rumongso, atau rumongso biso. Yang biso rumongso, meskipun pada posisi tertindas, ia tetap memiliki harapan yang potensialitasnya lebih besar dibanding ketiadaan harapan. Yang rumongso biso, yang merasa mampu, merasa menang, merasa berkuasa, merasa weruh sakdurunge winarah, merasa pasti aman di hari esok – tidak berhitung ada “ranjau” yang bernama “min haitsu la yahtasib”. Lebih banyak, jauh lebih banyak kemungkinan yang tidak diperhitungkan olehnya, dibanding kepastian yang ditetapkannya”

Di japri orang itu muncul emoticon kepala tertawa sampai sepuluh. Kemudian disusul: “Diomongin terang-terangan saja belum tentu ngerti dan sadar. Kok Sampeyan mubeng munyer men-thawaf-i filosofi dakik-dakik…”

Aku tidak peduli. Kuteruskan: “Berikutnya Tuhan menyikapi manusia dengan idhlal. Manusia maunya sesat, ya Kutambahi kesesatannya. Dan terakhir, tarkun atau tark. Mereka meninggalkan-Ku, maka mereka Kutinggalkan. Kubiarkan. Kucuekin. Kubiarkan manusia melakukan apa saja, mengambil keputusan apa saja. Pasal yang Kupakai tinggal Sorga atau Neraka. Sorga untuk yang dianiaya, Neraka untuk yang menganiay…”

Bersamaan dengan japri ini aku diserbu oleh yang lain-lain bersahut-sahutan.

“Mbok cespleng saja. Tunjuk siapa-siapa, ini itu, dalam persoalan yang sedang makin memanas di Keraton Yogya”

“Apa inti masalahnya. Terangkan paugeran itu apa, pranatan itu apa. Siapa yang melanggar. Siapa yang dilanggar. Siapa yang adigang adigung adiguna. Siapa yang dianiaya. Sabda Raja itu levelnya wahyu, karomah, ma’unah, fadhilah, ilham, wangsit, ndaru, ataukah yuwaswisu fi shudurinnas, minal jinnati wannas?”

“Kalau hal sikap NKRI terjadap Kerajaan, sudahlah. Itu Gudèl Ngeloni Kebo. Anak Kerbau meniduri Kerbau. Tidak perlu dipertanyakan kenapa dia merasa berhak menentu-nentukan perkara yang di luar wilayahnya. Terhadap dirinya sendiri saja NKRI tidak menentu pemahaman dan sikapnya. Yang saya tanyakan adalah bagaimana Keraton itu terhadap dirinya sendiri”

Waduh panjang dan banyak amat yang ia tanyakan.

“Apakah ada semacam pendidikan di internal Keraton bahwa semesta nilainya bukan Negara. Sebelum belajar tentang embat-embatan konstitusional dan kultural antara Keraton dengan Negara, kita perlu perjelas kosmos Keraton itu sendiri bagaimana. Apakah masih kontinu dan konstan kependidikan kekeratonan, misalnya sejak HB I hingga HB X saja. Kawruh batin…”

Kayaknya ini bukan orang yang sedang bertanya.

“Pendidikan kepribadian, keksatriaan, kepriyagungan, keperwiraan. Pendidikan kedewasaan, kematangan, kearifan. Pendidikan tata krama, subasita, budi pekerti. Pendidikan sebagai Raja, Pangeran, manusia, lelaki, perempuan, suami, istri, putra Dalem, wayah Dalem dan seterusnya. Itu sekedar contoh sebagian sisi yang perlu kita ketahui…”

Kupenggal pertanyaannya dan kujapri balik: “Yang Sampeyan tanyakan itu semua bukan pertanyaan. Hanya orang yang sudah mengerti itu semua yang bisa melahirkan pertanyaan-pertanyaan tentang itu semua…”

Tiba-tiba nongol japri lain: “Siapa sebenarnya yang dimaksud Gusti Ratu Ibu?”

Yogya, 12 September 2017

Lainnya

Gembira di Balik Corona

Gembira di Balik Corona

Bagaimanakah sebenarnya fakta kegembiraan? Apakah kegembiraan adalah keadaan hati manusia apa adanya bagi manusia itu sendiri?

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Manusia Harum

Manusia Harum

Rasulullah Saw. atau yang orang Jawa menyebutnya Kanjeng Nabi Muhammad adalah manusia harum.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.

Topik