CakNun.com
Catatan Majelis Ilmu Padhangmbulan, 11 Februari 2017

Diskontinuitas Sejarah Kepemimpinan Sebagai Akar Masalah

Padhangmbulan, 11 Februari 2017
Fa-yakun itu berproses hingga hari ini, sekarang ini, detik ini dan berlangsung terus hingga menjangkau masa depan. Foto: Hariadi.

Diawali tadarus Al-Quran, Shalawat Nabi, dan Wirid Padhangmbulan, Cak Yus menyampaikan pengantar awal. Tema Padhangmbulan kali ini adalah kepemimpinan. Dan, memang bukan sekali dua kali tema ini dibahas, melainkan bisa dikatakan cukup sering,yang menandakan betapa penting dan masih banyak soal-soal mendasar menyangkut kepemimpinan ini, dan bagi Cak Nun kepemimpinan merupakan salah satu kunci bagi menjawab persoalan keummatan dan kebangsaan kita.

Cak Nun sudah hadir di depan jamaah bersama Kyai Muzammil. Sementara Cak Fuad berhalangan hadir tapi menitipkan catatan tentang kepemimpinan yang nanti akan dibacakan oleh Cak Yus.

Cak Nun mengawali pemaparan tentang kepemimpinan dengan terlebih dahulu mbeber kloso: kontinuasi dan adopsi, yang merupakan dua pilihan yang bisa dilacak untuk membaca kenyataan perjalanan bangsa Indonesia hingga hari ini.

Division of labour yang Tidak Menyelesaikan Masalah

Menggunakan bahasa dan logika yang cukup gamblang, sederhana dan berimbang, Cak Nun mengajak jamaah melihat model kepemimpinan zaman dahulu. Saya jadi teringat istilah all in one — peran dan fungsi pemimpin ternyata beragam, menampung segala persoalan masyarakat, lalu dengan presisi pemahaman yang utuh memberi solusi untuk menyelesaikan problematika masyarakat.

Kehadiran pesantren di tanah Jawa tidak lepas dari sejarah dan watak kepemimpinan model all in one itu. Tidak ada Kyai atau guru di pesantren yang menobatkan diri mereka sendiri. Warga dan masyarakat yang mengangkat mereka sebagai kyai atau guru berkat peran, fungsi dan kualitas kepemimpinan mereka.

Pemaparan terkait model kepemimpinan yang kerap disebut tradisional itu menemukan urgensinya setelah Cak Nun membabar model kepemimpinan modern. Solusi atas persoalan dipecah dan dispesialisasikan sesuai bidang dan departemen. Untuk sambatan tentang kesehatan ada Kementerian Kesehatan; sambatan pendidikan dan kebudayaan ada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; sambatan agama ada Kementerian Agama. Semua lengkap dengan departemen-departemen.

Faktanya, division of labour itu tidak sepenuhnya bisa menyelesaikan masalah — bahkan cenderung gagal. Mereka yang dibayar rakyat untuk bekerja di kementerian dan departemen, melayani rakyat, memberikan solusi, justru menciptakan masalah dan menjadi bagian dari masalah. “Banyak pemimpin sekarang yang tidak menyelesaikan masalah dan malah bikin masalah,” tegas Cak Nun.

Menarik sekali ketika Cak Nun membuka cakrawala pemikiran jamaah maiyah dengan menampilkan tiga model kepemimpinan modern. Pertama, pemimpin yang tahu masalah dan mampu menyelesaikan masalah. Kedua, Pemimpin yang tidak mampu menyelesaikan masalah tetapi tidak membuat masalah. Ketiga, pemimpin yang tidak mampu menyelesaikan masalah dan malah membikin masalah.

“Kalau pemimpin Indonesia sekarang ini masuk kategori satu, dua atau tiga?,” tanya Cak Nun. Serempak dan kompak jamaah menjawab, “Tiga!”

Padhangmbulan, 11 Februari 2017
Jamaah menyimak dari barat pendopo. Foto: Gandhie.

Tidak semata untuk menyudutkan kenyataan kepemimpinan di Indonesia, Cak Nun tidak berhenti sebatas pada pertanyaan itu. Jamaah maiyah diajak terus mengalir. Ketika masyarakat tidak menemukan solusi yang ditawarkan oleh model division of labour itu, mereka mencari sendiri jawaban bagi setiap persoalan. Di sinilah terjadi kontinuasi mental, watak, dan cara berpikir khas bangsa Indonesia. Masyarakat mencari sosok yang tepat untuk mengurai persoalan hidup mereka — kenyataan yang kembali merujuk pada model kepemimpinan yang kerap dianggap tradisional itu.

Tidak heran dalam setiap kesempatan bersama jamaah maiyah Cak Nun diminta tolong mulai nyuwuk banyu, mencarikan jodoh, istri yang gagal hamil, meredam intoleransi, hingga persoalan yang lebih kompleks pada lingkup nasional.

Semua itu adalah amanah, tapi pada sisi yang lain — apalagi kalau tidak hati-hati — bisa menjadi celaka, karena kita dianggap bisa melakukan apa-apa. Demikian Cak Nun membentengi pola pikir jamaah agar tidak larut dengan kebanggaan ketika Allah Swt meminjamkan amanah-Nya.

Menawarkan Diri Jadi Pemimpin?

Saya menangkap kesadaran sak dermo nglakoni dari apa yang dipaparkan Cak Nun terkait amanah yang didatangkan pada kita. Saya juga teringat hal serupa sering disampaikan Cak Nun pada pengajian Padhangmbulan, beberapa tahun lalu. Menggunakan idiom seorang sopir truk, Cak Nun memberikan dua pilihan kepada jamaah, yakni berangkat untuk mengirim barang ke luar kota karena diperintah Pak Bos ataukah berangkat karena inisiatif sopir truk sendiri?

Dua pilihan itu membawa dampak dan kosekwensi berbeda. Pada pilihan pertama, Pak Bos akan melindungi, menjamin, bahkan turut menyelesaikan permasalahan yang terjadi saat sopir truk menemukan kendala di perjalanan. Ia berangkat karena menunaikan perintah Pak Bos.

Adapun pada pilihan kedua, Pak Bos akan lepas tangan, membiarkan sopir truk itu jungkir balik menyelesaikan masalah sendirian, karena ia berangkat atas inisiatifnya sendiri.

Padhangmbulan, 11 Februari 2017
Cak Nun mengajak jamaah berpikir lebih mendalam. Foto: Hariadi.

Setelah melakukan sejumlah “pemanasan” sikap berpikir, cara berpikir, jarak berpikir — meluas dan mendalam, Cak Nun melontarkan pertanyaan: menurut jamaah, bagaimana menyikapi orang yang meminta, menawarkan dan mencalonkan diri menjadi pemimpin?

Dipandu oleh Cak Yus, tiga jamaah diberi kesempatan menyampaikan pendapat. Menurut mereka, pada dasarnya tidak pantas seseorang mengajukan diri agar dipilih menjadi pemimpin. Berangkat dari jawaban tersebut Cak Nun mengajak jamaah berpikir lebih mendalam. Simulasi sederhana dicontohkan Cak Nun saat kita memilih imam shalat berjamaah. “Pernahkah Anda menjumpai seseorang maju lantas berkata, ‘Saya jadi imam, Anda semua makmum’?”

Ada perasaan pakewuh, tidak enak, sungkan atau apapun namanya — yang pasti roso kebudayaan seperti itu kini tidak berlaku lagi. Saat seseorang manawar-nawarkan diri jadi pemimpin — dan itu dialami bangsa Indonesia hingga hari ini — menunjukkan roso kebudayaan telah hilang. Lebih jauh lagi, model kepemimpinan yang diawali dan dijalankan dengan cara menawarkan diri itu bukan kontinuasi dari kebudayaan khas bangsa Indonesia.

Dalam situasi kepemimpinan seperti itu masyarakat akan mudah terjebak oleh simbolisme yang sengaja dipasang untuk talbis, konsekuensi logis atas praktik materialisme yang menjadi nyawa dalam mekanisme memilih pemimpin. Karena itu, tema kepemimpinan dalam Al Qur`an menekankan bagaimana memilih imam dan menjadi makmum. Fokusnya tidak pada pemimpin, tapi kepada yang dipimpin. Kuncinya terletak pada rakyat bukan gubernur, menteri, atau presiden.

Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Mekanisme pemilihan seorang pemimpin tidak lagi didasarkan pada kualitas perbuatan, output sosial, apalagi menjadikan perangkat rohani sebagai pertimbangan utama. Mekanisme yang dipakai adalah mekanisme untung-rugi, baik untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Sistem demokrasi itu pun diawaki oleh mekanisme untung-rugi hingga tingkat materialisme yang paling materi.

Jawa Tidak Dikontinuasi, Islam pun juga Tidak

Usai memaparkan seluk beluk kepemimpinan dari berbagai sudut pandang dan tingkat kedalaman, Cak Nun memberi tugas kepada Kyai Muzammil agar mengurainya dari sisi hukum fiqih. Al Qur`an memang tidak secara eksplisit menerangkan soal manawarkan diri menjadi pemimpin, namun secara implisit Allah tidak menyukai seseorang yang menempatkan diri pada posisi yang tinggi di atas bumi.

Rasulullah juga melarang seseorang agar minta dijadikan pemimpin. Nasihat yang disampaikan kepada sahabat Abdurrohman bin Samuroh menjelaskan hal itu. Jangan meminta kekuasaan! Kalau kamu diberi kekuasaan sebab kamu meminta, kamu akan dilepas dan dibebani kekuasaan. Jika kamu diberi kekuasaan bukan karena meminta, kamu akan dibantu dan diringankan.

Padhangmbulan, 11 Februari 2017
Menyimak pemaparan seluk beluk kemimpinan. Foto: Gandhie.

Menurut Kyai Muzammil, tradisi tidak minta kekuasaan atau tidak menawarkan diri jadi pemimpin yang menjadi salah satu pilar kesadaran manusia Jawa tidak mengalami kontinuasi hingga hari ini. Bisa jadi Jawa belum mengenal Islam pada waktu itu, namun kandungan dan nilai ajarannya ibarat tumbu ketemu tutup dengan Islam.

Jawa tidak dikontinuasi — Islam pun juga tidak. Kyai Muzammil lantas bercerita tentang mekanisme pemilihan Khulafaur Rosyidin, setelah Rasulullah wafat, sejak masa Abu Bakar hingga Ali. Tidak ada satu pun di antara empat sahabat itu mengajukan diri agar dipilih. Yang terjadi justru mereka saling menolak dan mengundurkan diri. Sahabat Umar bin Khattab pun wanti-wanti agar putranya tidak dipilih untuk menggantikan dirinya

Tidak terjadinya kontinuasi selain bisa dilacak dari perjalanan sejarah Jawa dan Islam yang terkait dengan mekanisme memilih pemimpin, juga cukup mudah ditemukan pada penggunaan kosakata yang tidak nyambung dan kehilangan korelasi terminologi. Kyai Muzammil mencermati beberapa kosakata, misalnya wakil rakyat, pemerintah, rakyat, pemimpin. Kosakata itu tidak konsisten dalam jalur terminologi sehingga kehilangan akar denotatifnya.

Apabila yang dipakai adalah kata “rakyat”, maka pemimpinnya disebut “roin”, karena rakyat berasal dari kata masdar “roiyah”. Kyai Muzammil pun mengelaborasi kata-kata yang lain seperti ma`mur (yang dipimpin) dan pemimpinnya disebut (amir), ma`mum dan imam. Dengan logat khas Madura, Kyai Muzammil berseloroh, “Kalau pemerintah adalah orang yang memimpin dan rakyat adalah yang dipimpin, dua kata itu ndak nyambung!”

Jungkir balik logika dan pemahaman pun terjadi. Pemerintah yang secara hakiki adalah pelayan rakyat, dibayar oleh rakyat, dihidupi dari uang rakyat—justru menjadi pihak pertama yang paling berkuasa dalam memerintah pihak yang mbayari atau juragan mereka, yakni rakyat itu sendiri. Lebih jauh lagi, pemerintah bersama perangkat yang dimilikinya, alih-alih memberikan solusi dan melayani—justru terlibat menjadi pihak yang menurut Cak Nun tidak mampu menyelesaikan masalah dan malah menjadi bagian dari masalah.

Ijthad Masa Majapahit hingga Materialisme Jahiliyah

Merespons apa yang disampaikan Kyai Muzammil — dengan gaya khas Madura dan nyanyian “merdu”-nya — kontinuasi dan adopsi menjadi dua hal yang ditekankan Cak Nun. Apa yang terjadi hari ini, lengkap dengan dinamika keruwetan dan potensi benturan, merupakan hal yang wajar dan sudah semestinya. “Memang awalnya bikin negara seperti itu, jadinya ya seperti sekarang ini,” kata Cak Nun.

Kontinuasi dengan Jawa tak luput dipaparkan. Cak Nun membuat tahapan era sejak zaman Singosari, Kediri, Mojopahit diteruskan Demak, Mataram hingga Indonesia merdeka. Tahapan itu meliputi ijtihad, masa pencarian dan mengolah diri, atau masa katalisator dari belum muallaf menjadi muallaf yang direpresentasikan oleh Demak. Dipandegani oleh Sunan Kalijaga, Islam ditransformasi menjadi kesadaran yang aplikatif kultural.

Proses tersebut belum sempurna benar, marja’ politik bergeser dari Walisongo menjadi klenik. Setting kebatinan mendominasi pada zaman Mataram. Setting kebatinan atau klenik itu pun pada dasarnya nanggung dan itu berlangsung hingga Indonesia merdeka. Diawali oleh masa ijtihad, muallaf, klenik, dan celakanya, hingga hari ini Indonesia telah masuk ke masa jahiliyah.

Padhangmbulan, 11 Februari 2017
Kepemimpinan merupakan salah satu kunci bagi menjawab persoalan keummatan dan kebangsaan kita. Foto: Hariadi

“Bukan berarti orang Indonesia beramai-ramai menyembah berhala di rumah masing-masing,” ungkap Cak Nun. “Cara berpikir materialisme yang memberhalakan materi merupakan indikator utama masa jahiliyah itu.”

Semua dimaterikan — dihitung, dipahami, diberlakukan, dan diorientasikan sebagai materi. Bahkan memahami kenikmatan yang dijanjikan Allah kelak di surga pun dihitung dan dipahami secara materi. Pada kadar dan konteks tertentu Islam tak luput menjadi objek yang diberhalakan.

Apa akibat itu semua? Orang tidak lagi serius menakar makna kata-kata. Menanggapi paparan Kyai Muzammil tentang silang sengkarut terminologi hubungan antara kata “pemerintah” dan “rakyat” — Cak Nun mengajak jamaah mencermati simulasi sederhana yang ditampilkan kata “murah” dalam kegiatan jual beli.

Seorang penjual menawarkan dagangannya dengan harga 70 ribu. Ini sudah harga paling murah. Pembeli menawarnya 50 ribu. Ini baru harga yang murah. Keduanya — pembeli dan penjual sama-sama menggunakan kata “murah”, tapi dengan pengertian, maksud dan tujuan yang berbeda, sesuai versi kepentingan masing-masing. Murah menurut penjual berbeda dengan murah menurut pembeli. Maka, yang diperlukan adalah tawar-menawar untuk menemukan jalan tengah.

“Silakan kata “murah” itu Anda ganti dengan kata NKRI atau Bhineka Tunggal Ika. Semua pihak menggunakan kata-kata itu tetapi menurut versi kepentingan masing-masing,” papar Cak Nun.

Memungkasi kedalaman dan keluasan paparan, sekaligus merespons tanya jawab dari jamaah, Cak Nun menguraikan bahwa hidup adalah getaran yang terus mengalir. Menggunakan ayat innamaa amruhu hingga kun fayakun, Cak Nun meneliti makna kata per kata. Kun fayakun kerap diartikan: jadilah maka jadi! Setelah melakukan konfirmasi secara langsung kepada Kyai Muzammil, arti kalimat kun fayakun yang diterjemahkan jadilah maka jadi, menurut Cak Nun kurang tepat.

Kun adalah fi’il amr (kata kerja perintah) dan yakun adalah fi’il mudlori’ (kata kerja untuk waktu sekarang, sedang dan terus berlangsung hingga masa yang akan datang, atau present continous tense). Maka, ketika Allah berfirman, kun — jadilah, proses fa-yakun — bukan tiba-tiba jadi lantas berhenti. Fa-yakun itu berproses hingga hari ini, sekarang ini, detik ini dan berlangsung terus hingga menjangkau masa depan.

“Materialisme tidak pernah melibatkan Allah dan tidak menjadikan Allah dan Rasulullah sebagai faktor utama, ketika yang utama dalam hidupmu adalah karepmu dhewe, cita-citamu dhewe, ambisimu dhewe. Engkau harus terus menerus melibatkan Allah dalam setiap detik hidupmu!” tegas Cak Nun. (Achmad Saifullah Syahid)

Lainnya