Berhati-hatilah pada Manusia

Anakku menginformasikan suatu hal yang menggembirakanku. Yang memberi harapan pada masa depanku, meskipun hanya Allah dan Malaikat Izroil yang tahu apakah aku masih punya masa depan, ataukah tinggal sebentar lagi. Info anakku itu hal baru bagiku. Padahal itu berita lama dan usang bagi Generasi Milenial.
Kayaknya anakku sengaja menghiburku. Sebab pagi itu aku murung. Aku dibombardir oleh banyak teman: “Sampeyan ini sebenarnya Pro apa Kontra? Anti atau Pro? Mendukung apa melawan? Kanan apa kiri? Tuhaner atau Ibliser…”. Dan macam-macam lagi. Kubilang aku ini murung, supaya teman-temanku lega hatinya.
Kujawab serampangan: “Aku ini plinthat-plinthut seperti hari: kadang siang kadang malam, kadang pagi kadang sore. Aku ini slinthat-slinthut seperti kelapa: kadang sabut kadang batok, kadang krambil kadang blarak…”. Yang Tuhaner dan Ibliser tidak kujawab, karena aku tahu di pandangan mereka Tuhan dan Iblis itu dua musuh bebuyutan.
Tuhan dan Iblis adalah “dua tuhan”, dua kekuatan yang saling bersaing, beradu pengaruh, bertarung memperebutkan manusia dan kehidupan. Sampai-sampai digambar Tuhan dengan Iblis bermain panco, adu kekuatan. Atas dasar pandangan itulah dunia dibangun, peradaban ditegakkan di seluruh dunia. Atas cara pandang kompetisi antara Tuhan dengan Iblis itu manusia mendirikan Negara, berpolitik, bahkan menjalankan Agama.
Aku senang menyaksikan cara pandang itu berlaku di seluruh permukaan bumi. Aku tidak mau mengubahnya, dan untung memang aku tak mungkin sanggup mengubahnya. Andaikan tertawa itu sebuah kemungkinan yang “halal” pada Tuhan, tentu kubayangkan Tuhan tertawa habis-habisan menyaksikan ummat manusia mempersaingkan Ia dengan Iblis, yang toh merupakan “makhluk”-Nya serta menjadi “andalan” utama kebijakan-Nya sejak Ia ciptakan Adam.
Yang merasa semakin gelisah malah si Iblis. Ia sangat “pekewuh” kepada Tuhan bahwa ia dianggap kompetitor-Nya. Bahkan sejak beberapa lama Iblis ingin mempercepat berakhirnya kontrak dengan Allah yang aslinya berlaku sampai Hari Kiamat. Iblis menemukan bahwa manusia sudah tidak memerlukan godaan dan pengaruh Iblis, untuk mengingkari Allah, untuk berbuat kejam, jahat, merusak bumi dan menumpahkan darah. Ia menemukan bahwa ide kejahatan manusia sudah jauh melampaui gagasan Iblis sendiri bagi manusia untuk berbuat jahat.
Dahulu kalau para Malaikat minta tolong dia kalau mau menawar sesuatu kepada Allah. Tapi sejak jadi Iblis, posisi itu tak ada lagi padanya. Makanya satu-satunya harapan bagi Iblis adalah Nabi Muhammad saw, makhluk yang paling disayangi oleh-Nya. Maka kapan saja Nabi Muhammad memanggilnya, Iblis siap sowan. Misalnya Iblis disuruh oleh Nabi Muhammad menjelaskan kepada sahabat-sahabat Nabi tentang apa tugasnya dari Tuhan, apa kesulitan-kesulitannya, perbuatan apa pada manusia yang menghalangi pengaruhnya, siapa-siapa saja yang Iblis paling takuti, dlsb. Tetapi sampai detik ini Iblis belum berani mengajukan kepada Nabi Muhammad keinginannya untuk mempercepat masa kontraknya dengan Allah swt.
Hal-hal seperti itu tak perlu kujelaskan kepada sesama manusia. Sebab terus terang aku lebih takut kepada manusia dibanding kepada Iblis. Iblis punya kejelian persepsi terhadap segala hal. Iblis selalu berpikir komprehensif. Iblis tidak melihat sesuatu secara linier dan sepenggal. Beda dengan manusia. Ketika U-19 kita 15 kali gagal memasukkan bola ke gawang Thailand karena kipernya sangat bagus, aku tak sadar bertepuk tangan, atau teriak “Yesss!” setiap kali bola kita di-blok.
Para penonton di kiri kanan saya marah. Padahal yang kutepuk-tangani adalah keandalan skill manusia yang kebetulan menjadi kiper Thailand. Aku cinta manusia dengan ketekunannya melatih hidup. Hal Thailand-Indonesia itu relatif. Sesudah Indonesia kalah adu penalti, kalau besoknya ditandingkan lagi bisa saja kita menang. Juara itu berlaku sedetik, berlaku hanya di salah satu koordinat ruang dan waktu. Begitu bergeser koordinatnya, bisa terbalik juaranya”.
Ketika Arema dan Aremania berulang tahun di stadion Tumpang Malang, kutawarkan transformasi logika dari sebuah lagu Timor: “Kalah atau Menang, Arema lebih baik. Karena yang lain bukan Arema”. Itu tidak ditolak oleh massa Aremania, meskipun – kalau memandang ekspresi wajah-wajah mereka – belum benar-benar diterima. Aku sekadar mengupayakan suatu cara tahap bersikap bahwa kita mendukung atau tidak mendukung tidak berdasarkan menang atau kalah, sedang berkuasa atau tidak. Nanti tahap berikutnya ada pola sikap yang lebih substansial lagi.
Memang hampir mustahil menerapkan sikap universal terhadap kebenaran, kebaikan dan kemashlahatan. Itu membuatku murung oleh keadaan masa kini, yang menyembah segala hal yang sifatnya temporer, bias, terbalik-balik substansinya, tidak hakiki. Aku tidak bisa dan memang tidak wajib melakukan apa-apa atas kondisi itu. Sehingga kukatakan: “Ya sudah. Ambillah. Kalian sudah mantap. Salamun ‘alaikum la abtaghi…..”. Kecuali “perintah” itu datang.
Untuk sementara, kalau ada yang bertanya, aku menjawab: “Berhati-hatilah kepada manusia. Kalau manusia mendapat keuntungan darimu, maka kau di-Nabi-kan, bahkan di-Tuhan-kan. Kau selalu benar, tidak boleh salah, tidak boleh ada yang menyalahkanmu. Tapi kalau suatu hari ia tidak mendapatkan lagi keuntungan darimu, atau kau jatuh dari kekuasaanmu, maka kau segera akan di-Iblis-kan. Atau kalau manusia mendapatkan tuhan yang dianggap lebih tuhan darimu, maka dicopot kostum tuhan darimu”.
“Manusia sangat gemar menciptakan berhala untuk dituhankan. Baik di bidang keartisan, kebudayaan, politik atau apapun saja. Mereka yang bikin berhala, ditonjol-tonjolkan, diumum-umumkan, diviral-viralkan, dicitra-citrakan. Mereka sendiri yang menuhankan berhala itu. Tapi kapan berhala itu tidak menguntungkan, tidak marketable, tidak laku di pasaran, mereka ganti tuhan yang baru. Tanyalah kepada anak-anak daerah yang diangkat-angkat di Jakarta, dituhan-tuhankan, dibikin ngetop – tapi begitu tidak laku, ia ditinggalkan, dan balik jadi sopir Angkot di daerah. Sesungguhnya tuhan sejatinya manusia adalah dirinya sendiri, kepentingannya sendiri, nafsunya sendiri, pamrih keuntungannya sendiri”.
Maka aku gembira dikasih tahu oleh anakku tentang Dmitry Itskov itu.
Sukoharjo, 12 Oktober 2017