Bekal Kesesatan
“Menurut kalian, dari ayat itu, yang paling utama muatan yang mana?”, tanya Markesot.
“Apa ada yang tidak utama dalam Al-Qur`an?”, ternyata Brakodin tidak berhenti ketus.
“Maksud saya bagi kalian masing-masing, meskipun tidak harus disimpulkan sebagai pilihan bersama. Titik berat bagi seseorang, tidak bagi yang lain. Tapi masing-masing perlu menentukan titik berat pemahaman dan sikapnya, sesuai dengan tahap keilmuannya, pengalaman sosialnya serta momentum peristiwa yang ia maksudkan”
“Maksud Cak Sot gini lho”, Tarmihim mencoba menjelaskan, “ada orang yang memilih titik berat ayat itu pada bil-hikmah, ada yang mauidloh hasanah, ada yang jadilhum billati hiya ahsan atau lainnya”
Markesot membenarkan. “Dalam berkomunikasi kita harus mengenali menu-menu psikologis yang terdapat pada setiap komunitas dan responden. Kita perlu desain, strategi, siyasah, balaghah”
Tarmihim mengutip ayat lain: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” [1] (Ali Imron: 159). “Bagi yang memilih titik berat mauidloh hasanah, mungkin itu alasan dasarnya”, katanya.
Sundusin nyeletuk: “Saya beda. Titik berat yang menurut saya lebih mendasar adalah ‘Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya’. Itu bekal awal sebelum bil-hikmah.”