CakNun.com
Daur-I160

Yutab-yutub

Ta’qid“Saya tidak mau menjadi tukang tadah dari celoteh mereka, ekspresi nafsu mereka, serta serbuan kepentingan-kepentingan mereka”

Pantas Markesot mengambil jarak sangat jauh dari semesta IT. Ngakunya tindakan itu ia lakukan berdasarkan alasan teologis dan ideologis, tetapi kebanyakan orang di sekitarnya tahu sebenarnya itu semata-mata karena Markesot memang jadul dan gaptek.

Alasan riil yang lain, apalagi kalau bukan soal pulsa. Tapi kita jangan sekali-sekali mengemukakan atau menyindirkan hal pulsa kepada Markesot. Nanti ia justru senang, kemudian kita digiring dalam pembicaraan untuk terjebak ke dalam logika bahwa kita harus men-support-nya beli pulsa.

Jadi biarkan saja dia tidak tahu internet. Tidak punya handset dengan alasan tidak berani menyentuh layarnya. Tidak mengerti aplikasi-aplikasi komunikasi maya. Tidak punya alamat di “Buku Wajah” sehingga tidak berteman dengan siapa-siapa. Tidak paham kreativitas copy-paste, kebingungan sendiri kalau mendengar kata browsing, twitting, posting, downloading atau uploading.

Biarlah Markesot hidup di zaman pra-Ratu Shima. Terus nanti dia mengaku mengawal Pangeran Padma ketika melindungi rakyatnya dari  hajat besar Gunung Merapi sampai beliau sendiri meninggal digilas lahar. Kemudian pura-pura setuju saja kalau lantas Markesot mengaku melanjutkan pertemanan dengan Pangeran itu, yang kemudian bergelar Mbah Petruk.

Di-iya-kan saja kalau malam-malam dia berlagak sedang melakukan rapat khusus dengan beliau-beliau yang diaku oleh Markesot sebagai rekanan-rekanan kerjanya: Kiai Gringsing, Mbah Jumadil Kubro, atau Ki Ageng Mangir yang melingkarkan tubuh Nogo Barukuping di tubuh Gunung Merapi.

Tetapi ternyata ada saja teman-teman lama Markesot yang datang mengejeknya soal internet dan teknologi informasi.

Barkodin, demikian nama kawan lama Markesot itu, entah bagaimana ceritanya, datang menemui dan langsung menyerang: “Sudahlah, Sot, ngaku saja”, katanya, “Kita memang orang kuno. Tidak mungkin kita mampu melawan anak-anak sekarang, yang belum masuk Taman Kanak-kanak saja sudah main gam-gim-gam-gim, onlan-onlain, browsang-browsing, Yutab-Yutub, Yuyam-Yuyem, Yuja-Yujo…”

Dan ternyata sepulang dari hutan, Markesot agak lebih mudah tersinggung. Mendengar kata-kata Barkodin langsung keluar tanduk dari kepalanya dan menjawab defensif.

“Lho saya tidak ada masalah dengan dunia komputer, gadget atau internet. Cuma memang saya tidak mau”

Barkodin tertawa. Agak menyakitkan bagi Markesot. “Sejak dulu pintarnya kamu ini kan soal bikin-bikin alasan”, katanya.

“Saya memang benar-benar tidak mau”, Markesot menegaskan.

Barkodin tetap tertawa sinis. “Ah ya ndak mungkin lah. Semua orang di dunia berlomba-lomba masuk dan memakai internet, kok kamu ndak mau. Saya juga ingin, tapi sudah terlambat, terlalu tua untuk memulai belajar…”

“Ndak mau kok ndak boleh”, Markesot memotong.

“Kamu ndak mampu, bukan ndak mau, sama seperti saya”

“Ndak mampu apanya?”

“Ya semuanya. Ndak mampu beli komputer atau handphone, ndak kuat pulsanya…”

“Saya memang tidak mau, Din”, Markesot mempertahankan diri, “maaf ya, terpaksa saya omong terus terang, terserah kamu paham atau tidak. Terserah kamu setuju atau tidak. Saya tidak mau karena banyak sebab…”

Barkodin terus tertawa-tawa.

Pertama, karena saya tidak kenal pada manusia-manusia yang bikin internet serta semua yang mengisinya”

Kedua, karena mereka banyak omong kepada saya melalui tulisan dan gambar, tapi tidak pernah kulonuwun ke saya dan mengajak berkenalan”

Ketiga, saya tidak mau menjadi tukang tadah dari celoteh mereka, ekspresi nafsu mereka, serta serbuan kepentingan-kepentingan mereka”

Keempat, terlalu banyak yang mereka sampaikan ke saya, tiap detik ditambah lagi dan selalu ditambah lagi, sehingga tidak mungkin saya mempelajari semuanya secara menyeluruh”

Kelima….”

“Waaah kok banyak sekali alasannya, Sot, sudah…sudah…malas saya”

Lainnya

Aku Ingin Mencium Kaki Cak Nun

Aku Ingin Mencium Kaki Cak Nun

Apa yang perlu saya banggakan lagi Cak?! Ketika mendengar ceramah-ceramah jenengan, bukan saja kebanggaan ini saja yang hilang, bahkan kehormatan saya pun tercerai berai diberangus keburukan diri yang mulai tampak jelas ketika jenengan berorasi.

Duduk, Diam, Mendengar

Duduk, Diam, Mendengar

“Lik, dewean po?”

“Yess, seperti yang sudah-sudah.”

Sebaris gigi putih menyiratkan kerinduan, meski sering kami bertemu, bergurau.