Rembug Langkah Maiyah Organisme
Hari Sabtu tanggal 12 November 2016, Majlis Gugurgunung semacam mendapat hajatan istimewa lantaran kehadiran banyak sedulur yang bersama-sama hadir dari beberapa penjuru untuk ngombyongi rembug Songolasan. Meskipun acaranya Cangkruk Songolasan, namun bulan ini dilaksanakan seminggu sebelum tanggal 19. Berkaitan dengan respon yang tidak bisa ditunda-tunda untuk mengapresiasi isi yang tertulis dalam Tajuk 8 Nov dan Tajuk 12 Nov
Cangkrukan Songolasan selain bersama penggiat Maiyah Ungaran-Semarang sekitar, juga hadir sedulur Maiyah dari Jepara juga sedulur Maiyah dari Waro’ Kaprawiran Ponorogo, Madiun, Yogyakarta. Meskipun kehadiran sedulur Maiyah ini tidak lantas diterjemahkan sebagai wakil simpul, namun hal demikian tentulah sebuah kegembiraan khusus yang tidak setiap saat bisa terjadi. Salah satu pembahasan malam ini ialah terkait dengan tulisan dari Bapak Maiyah Muhammad Ainun Nadjib pada caknun.com yang diunggah pada tanggal 8 November 2016 yang memberikan anjuran pemikiran kepada masyarakat luas untuk melangkah usai kejadian 4 November 2016 di Jakarta.
Kegiatan rembug ini bertempat di Rumah Makan Mas Mundari (RM Superhot) Ngempon- Karangjati, Ungaran. Mas Dian selaku moderator membuka acara pada pukul 20.45 WIB. Dimulai dengan wasilah oleh Mas Kafi, kemudian Munajat Maiyah oleh Mas Jion.
Mas Kafi beserta rombongan dari Jepara mengungkapkan bahwa mengetahui rembugan malam ini bersumber dari sosial media facebook, berisikan undangan kepada masyarakat Maiyah sekitar Majlis Gugurgunung untuk membahas tentang uraian dari caknun.com pada 8 November 2016 tersebut, selain itu juga untuk melepas kerinduan paseduluran yang lama tak berjumpa ini. Lalu Mas Burhan juga menambahkan bahwa dirinya dan kawan-kawan kampungnya sendiri tidak terlalu peduli atau bahkan lebih memilih “beku” terhadap kejadian pada tanggal 4 November 2016 di Jakarta, karena menurut pemikirannya bahwa dia lebih baik berfokus untuk mengadakan kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat di masyarakat kampung kecilnya yang berupa kesenian dengan berharap mendapat berkah tersendiri.
Mas Agus lalu memberikan tanggapan bahwa dari uraian pada caknun.com 8 November 2016 tersebut sudah sangat urgent terutama untuk kalangan organisme Maiyah sendiri, agar masing-masing organisme Maiyah siap dan paham pada apa yang sebaiknya dilakukan usai kejadian 4 November 2016 di Jakarta tersebut. Dan untuk kegiatan yang dilakukan oleh Mas Burhan beserta sedulur-sedulur kampungnya ditanggapi oleh Mas Agus bahwa apa yang dilakukan oleh Mas Burhan tersebut baik karena Mas Burhan cs telah aktif di wilayah-wilayah yang lebih terjangkau dan bermanfaat untuk tak berputus-asa di dalam membentuk masyarakat yang lebih terorganisir.
Mas Anies dan Mas Leo dari Yogjakarta juga memberikan tanggapan tentang Battle (pertempuran) & War (peperangan). Bahwasanya ada sebuah peperangan panjang yang tidak ada akhir yang terdapat banyak pertempuran didalamnya, dan kejadian 4 November 2016 merupakan salah satu pertempurannya. Sedikit menyalurkan pemikiran Mas Sabrang saat Mas Anis dan Mas Leo di Jogja beberapa hari lalu, tentang bagian dari Mobil. Jika kita merupakan salah satu dari bagian mobil, maka di bagian apakah kita ini? Ada sebuah bagian yang menarik dari sekian banyak bagian mobil. Adalah dongkrak, dimana dongkrak menjadi dibutuhkan hanya pada saat tertentu saja saat kondisi genting dan perlu penanganan cepat, selebihnya bahkan sering dilupakan. Maka, dongkrak tersebut tidak perlu kemana-mana justru akan dicari. Ketika dongkrak tersebut tidak pernah dipakai dan sering terlupakan bisa jadi putus asa hingga karatan dan tidak dapat digunakan. Anggaplah kita (Maiyah) ini berposisi sebagai dongkrak tersebut. Tidak perlu diperlihatkan, tetapi perlu diingat satu hal bahwa jangan sampai kita menjadi seperti dongkrak yang karatan tadi dengan tetap mengetahui mana yang perlu diprimerkan dan diprioritaskan.
Dari semua uraian di atas, Mas Agus menarik satu garis kesesuaian bahwa yang pertama ialah kita harus bersiap dan menunggu dhawuh dan kedua ialah aktif dan tidak berambisi menampakkan diri sama halnya halnya dongkrak tadi. Apa yang bisa kita serap dengan menghitung efek dari kejadian 4 November 2016 yang mungkin berhasil kita identifikasi secara sederhana tentang kekuatan Islam. Karena dengan sedikit pancingan, tanpa perlu melihat siapa yang memimpin dan meskipun belum sesuai sasaran. Sangat jelas terlihat bahwa Islam sangat solid pada saat itu, entah apa yang melatarbelakangi sekian banyak orang itu untuk tetap terkendali dalam gerakan aksi damai. Mas Agus tak menemukan jawaban lain selain bahwa nurani masing-masing orang Islam hingga saat ini sedang menjaga kerinduan akan hadirnya sebuah tatanan yang rahmatan lil ‘alamiin. Dalam kejadian 4 November 2016 tersebut masyarakat Islam tidak mempedulikan golongan entah itu NU atau Muhammadiyah dll. Terdapat kesesuaian perintah dengan hati nurani, karena secara naluriah sembejujak-mbejujak Ummat Islam ia tidak akan terima ketika Islam, baik itu kitabnya, Nabinya dll dilecehkan tetap tidak akan bisa menerimanya.
Islam sangat kuat dan solid hingga tidak mempedulikan golongan ataupun aliran. Namun jika kita analisis dengan pola berbalik, ada sebuah sistem yang sangat mungkin terjadi. Skenario yang terbalik ialah ketika Islam diberikan fasilitas dan dibombong bahwa Islam yang dominan itu hingga ada upaya untuk melupakan kesadaran tentang solid tadi. Ada kemungkinan terjadi sistem adu domba antar umat Islam sendiri. Misalnya diadu domba tentang kebudayaan Jawa dan kebudayaan Arab _dengan konotasi bahwa Jawa itu Klenik, Musyrik, terbelakang, sedangkan Arab itu tercerahkan, Iman, dan Islam_ yang dapat memanaskan suasana. Sampai terjadi hilangnya kebudayaan masing-masing bahkan sampai bermusuhan. Sebab, semakin masyarakat Islam sibuk memusuhi antar golongan antar aliran, latar belakang pihak lain maka akan makin lupa hamparan depan dan tidak focus dalam mewaspadai siapa sebenarnya musuh kita. Musuh yang ingin merusak dan perlu kita waspadai adalah pihak yang sudah terbiasa atau berpengalaman untuk merusak mental dengan mengelabuhi memakai asma Allah SWT.
Ta’limul Hingga Ta`dib
Dari daur caknun.com tersebut dapat diambil satu galih, yakni urusan tentang ta’dris, ta’limul Islam, tafhimul Islam, ta’riful Islam, Tarbiyatul Islam dan Ta’dibul Islam. Hal-hal seperti ini sebenarnya sudah ada namun belum menjadi tradisi, sehingga sangat perlu untuk kita upayakan sebagai tradisi. Orang berilmu belum tentu faham tentang ilmunya. Orang faham belum tentu Arif dengan pemahamannya. Orang Arif belum tentu berjiwa Mengasuh. Mengasuh belum tentu santun. Maka perlu dibuat penegasan tahapan bahwa orang berilmu juga dibarengi kesantunan dalam kefahaman. Faham perlu melatih kesantunan dalam kearifan. Arif perlu memiliki kesantunan kepada kepengasuhan, perawatan. Dan kesemua termin tersebut sebagai ciri, corak, warna baku, dalam prilaku ummat Islam. Bahwa sopan-santun Islam meliputi aspek kepengasuhan, kearifan, kefahaman, dan keilmuan.
Masyarakat umumnya berkumpul untuk membentuk Jama’ah saja namun belum sampai kepada Jam’iyah. Meski berkumpul namun masing-masing masih mendirikan kiblatnya dengan membawa urusan pribadi, masih belum paham siapa imam mereka sebenarnya. Sedangkan perkumpulan Jam’iyah sudah sampai pada tahapan mengerti akan imamnya yang mampu dijadikan pengambil kebijakan. Yang perlu ditekankan dalam Jam’iyah ialah sebuah ilmu untuk memilih.
Ta’limul Islam, Ilmu Memilih
Ilmu memilih yang bukan sekedar tahu baik dan buruknya saja, karena untuk membungkus keburukan dengan pakaian kebaikan sangatlah mudah dilakukan. Dan yang penting dalam memilih adalah harus mampu menganalisis serta paham akan pilihannya tersebut. Telah dicontohkan pada saat Kanjeng Nabi Muhammad SAW wafat maka dilakukan pemilihan khalifah yang tepat.
Coba ini direfleksi dalam diri, bahwa ketika kita sedang tidak memiliki titik temu secara dekat dengan Kanjeng Nabi, bisakah kita segera menemukan pengganti yang meskipun bukan Kanjeng Nabi namun memiliki jalur yang tidak menjadikan kita menjauh dari Allah dan RasulNya. Dibelah lagi, apabila maksud istilah : “kanjeng Nabi” dalam diri kita ini adalah kesempurnaan Akhlaq, bisakah kita menemukan jalur alternatif sekemampuan kita untuk tetap bermuara pada upaya menyempurnakan akhlaq kita sendiri, entah dari jalur para sahabat yang mana.
Sesungguhnya hal paling mendasar untuk kita lakukan di dunia ini adalah kemampuan dalam memilih. Mampu menemukan pilihan dan paham terhadap apa yang dipilihnya. Sejak sebelum dilahirkan kita telah diberikan pilihan untuk mengimani Robb atau mengingkari Robb.
Lantas di dunia tidak ada peristiwa kecil sekalipun yang kita tidak dihadapkan pada pilihan. Dalam hal-hal seperti diawal hari kita mulai dengan bangun pagi atau bangun siang pun pilihan. Kemudian ketika melakukan segala aktifitas senantiasa kita dihadapkan pada pilihan demi pilihan. Itu pasti untuk tujuan mengingatkan kepada kita untuk selalu ingat bagaimana memilih, punya kesadaran dan paham pada setiap pilihan.
Namun, apakah tradisi memilih ini sudah menjadi ilmu mendasar di dalam diri ummat Islam? Dalam banyak hal yang kecil dan sekunder justru sudah, ummat Islam sangat detail memperhatikan dan mengkoreksi pilihan, sayangnya lebih banyak mengkoreksi pilihan oranglain. Misalnya, sudah benar belum wudhlunya, gerakan sholatnya, fasih tidak lafadznya. Tapi, lantas lupa membuat hitungan untuk memilih memperhatikan pilihannya sendiri. Bahwa apakah bersihnya seseorang hanya sekedar terletak pada wudhlunya atau pada keteguhannya menjaga diri untuk tidak mencemari pengabdiannya kepada Tuhan. Ini hanya sekedar ilustrasi.
Kita sering ketemu pengalaman salah pilih, dan konsekuensi dari kesalahan itu ada yang berimbas jangka panjang ada pula yang berimbas resiko jangka pendek. Sedangkan untuk hal-hal kecil kita sangat mati-matian membela pilihan kita, namun untuk hal-hal besar yang berkaitan dengan kesaksian, pengabdian kepada Tuhan, terkadang kita sedang tidak membela atau memperjuangkannya secara sungguh-sungguh. Untuk pilihan sangat sering tampak ummat Islam sangat menyepelekan dan menganggap pilhannya tidak memiliki dampak besar. Padahal untuk salah pilih bisa harus menanggung resiko ketidaknyamanan sekurangnya 5 tahun, ini terbukti pada pilihan-pilihan sederhana. Untuk pilihan yang beresiko seumur hidup pun bisa disepelekan, yakni pilihan corak yang corak tersebut bisa digunakan sebagai pertanggung-jawaban di akhirat.
Jangan sampai diri kita terjebak hanya di dalam info isu-isu media saja, yang mungkin membuat kita terlihat aneh ketika tidak mengetahui berita yang populer, yang justru membuat masyarakat mudah gumunan akan suatu informasi. Baik itu berita tentang percintaan, pemerkosaan hingga sampai kopi sekalipun. Sangatlah penting untuk kita memantau banyak hal yang masih perlu kita analisis terlebih dahulu agar tidak menjadi bodoh lebih jauh lagi.
Maka, dalam hal Ta’limul, rembug songolasan memilih untuk mentradisikan ilmu pilih. Mengerti dan meyadari posisinya adalah sebagai pemilih. Mengerti pilihan hidupnya. Mengerti pemimpin hidupnya yang bagaimana. Mengerti dan mampu memilih imam yang punya kategori apa. Mengerti utusanNya dan memilih menjadi ummat ataupun ahlanya. Agar tidak sekedar jadi lebu katiup angin, namun punya bobot otentik atas pilihannya sendiri, punya ilmu dan pemahaman. Sehingga, setelah Ta’limul kemudian masuk kepada ruang tradisi berikutnya Tafhimul.
Tafhimul Islam. Muslimin dan Kearifan
Setelah paham dalam memilih maka akan membawa keselamatan sesuai dengan karakteristik seorang muslim baik itu di wilayah rohani maupun sosial yang lembah manah, andhap asor, tepo sliro dll. Seorang muslim sangat paham betul iman secara horizontal maupun vertikal. Baik itu kepada Allah SWT maupun kepada semesta dengan menebar keselamatan kanan dan kiri dilihat terminology tengok salam ke kanan dan kiri pada akhir sholat. Setelah kita menjadi muslim yang Ta’limul dan Tafhimul akan membuat kita menjadi lebih ma’ruf.
Ta’riful Islam
Kema’rufan ini diterapkan dalam setiap terminologi kearifan dan kebaikan, serta masih satu akar kata dengan Ma’rifat . Dan Ma’rifat diperuntukkan bagi kiai, ulama atau mukmin yang mampu mengilmui, memahami, mengenali dan mengamankan semesta melalui jalan Allah SWT, serta mampu menjaga amanah. Padahal jika penekannya adalah kenal ‘Arofa, maka siapapun saja pihak yang mampu mengilmui, memahami, mengenali dan mengamankan semesta melalui jalan Allah SWT serta mampu menjaga amanah ialah pihak yang dikaruniaiNya kearifan (ma’rifatullah).
Tarbiyatul Islam
Setelah melalui tahap itu akan bertemu tahapan kesadaran Tarbiyah, yang bisa sedikit diintepretasikan pada kegiatan menanam, merawat serta memupuk pohon tanpa memiliki kesadaran menumbuhkan pohon tersebut, yang dapat bermanfaat bahkan untuk anak, cucu dll. Dan bukan hanya berhenti pada kita saja, atau anak kita, bahkan hingga buyut kita seterusnya. Kegiatan menanam, atau nandur ini sangat sering diungkapkan oleh Mbah Nun.
Dalam konsep kesadaran, Tarbiyah menggabungkan antara tiga hal yang memiliki ikatan satu sama lain. Yakni baik, benar dan indah. Demikian Allah menciptkan segalanya.
Walaupun ketiga hal ini memiliki perbedaan konsep antara makhluk dengan Pencipta. ‘Baik’ di hadapan Allah SWT belum tentu dianggap ‘baik’ oleh makhluk. ‘Benar’ pada pandangan Allah SWT belum tentu diminati sebagai kebenaran bagi makhluk. Baik dan Benar memang memiliki kecenderungan sangat relative. Namun ‘Indah’ punya jalur yang lebih abadi dan universal. Sejak dahulu bahkan jaman dahulu mungkin sejak zaman Nabi Adam AS, matahari terbit dan matahari terbenam terlihat indah, disepakati sebagai hal indah. Jaman sekarang ini kesepakatan itu tampaknya tak berubah. Orang sekarang tetap banyak yang setujun bahwa sunset dan sunrise itu indah.
Melihat dari hal tersebut dapat diketahui bahwa keindahan memiliki persamaan konsep antara dahulu dan sekarang sedangkan yang memiliki perubahan ialah konsep baik dan benar. Misalkan pernikahan kakak beradik pada jaman Nabi Adam AS diperbolehkan namun sekarang tidak. Masih yang sangat berdekatan dengan konsep keindahan adalah seni dan budaya. Sesuatu yang sesungguhnya indah misalkan candi walaupun telah hancur masih bisa kita bayangkan keindahannya saat utuh pada masa silam.
Usai konsep kesadaran Tarbiyah, mulai memasuki tradisi Ta’dib. Dengan ridho dan ikhlas, dengan siap di depan ataupun dibelakang, bahkan siap untuk tidak menjadi apa-apa sekalipun. Walaupun tidak menjadi apa-apa dalam sudut pandang makhluk berbeda dengan sudut pandang Allah SWT. Seperti halnya tahapan Mukhlisin karena hanya Allah SWT yang mampu menilai. Paling tidak kita bisa mencoba tradisi Ta’dib ini dengan mentadabburi setiap keadaan.
Manipulasi Asma Allah dan Harga Primer (Roso Jati)
Mas Leo memiliki sebuah respon tentang manipulasi kontrol dengan hipotesis penggunaan asma Allah untuk ditunggangi pihak-pihak yang memiliki keinginan terjadinya distraksi di bumi. Mas Agus menganggapi; bahwa Umat Islam sangat tahu betul tentang pemahaman Allah SWT yang memiliki asma Rahman Rahiim. Kasih sayang dan welas asih. Jika Ummat Islam tidak terbiasa memahami arti kasih sayang dan welas asih secara berlapis dan lembut, maka akan rentan terhadap pengelabuan.
Ada sebuah ilustrasi : pihak A memiliki agenda untuk merusak tatanan pihak B yang memiliki sebuah kegiatan pendidikan. Pihak A tahu bahwa untuk merusak tanpa konfrontasi adalah dengan biaya. Jika pihak B bukan pihak yang mudah dikelabui dengan biaya, maka perlu ada adegan yang memojokkan pihak B untuk mau tidak mau menyerah dan menerima biaya. Misalnya dipanas-panasi bahwa kondisi pengadaaan dunia pendidikan jaman sekarang harus menjawab tantangan jaman, dimana fasilitas dan pra sarana lain sebisa mungkin memadai untuk memenuhi keingintahuan murid yang terus berkembang. Si B tiba-tiba merasa dalam ancaman, lupa niat, lupa tawakal, lupa tujuan, yang diingat hanya kemenangan dengan anggapan bahwa selain badan pendidikannya adalah musuh, pesaing, kompetitor.
Intinya, pihak manapun entah C, D, E, dan lain sebagainya adalah tidak penting jika pihak-pihak tersebut sudah menyerah pada sektor keduniaan. Merasa terancam oleh dunia dan merasa bahwa hanya dunia pulalah penolongnya.
Pihak A kemudian tampil sebagai malaikat penolong bagi pihak B. Ia tampakkan kasih sayang dan belas kasih dengan simbol persaudaraan yang seakan karib. Pihak dibebaskan dalam hal pengembalian, betapa pihak B melihat kehadiran kasih sayang dan belas kasih Tuhan dalam diri pihak A. Pihak B begitu mudah terjebak menggadaikan keyakinan primernya kepada hadirnya fenomena sangat sekunder. Pihak A telah memenuhi kuasa lahir bathin pihak B, ia bisa mulai mengintervensi kurikulum dan kebijakan. Pihak B terjajah dalam nuansa mengabdi kepada representasi Rohman Rohiim. Pihak B tak lagi merdeka, mundur susah maju sulit. Tak punya lagi kedaulatan hanya gara-gara tak menganggap berharga primernya. Roso Jati dalam dirinya. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini ialah dengan membuat tatanan yang terorganisir minimal untuk diri sendiri. Jangan mudah kita gadaikan pegangan, jangan sepelekan nilai yang sedang kita bawa meski tampak remeh dan tak berharga. Sebab nilai itu bukan untuk mereka yang tak menghargai nilai, namun untuk dihantarkan kepada anak cucu yang mereka menantikan warisan nilai yang tentu bisa tetap hadir utuh sampai kepada mereka tidak dengan sepele dan remeh. Nilai itu dibawa dengan keteguhan perjuangan, pengorbanan, dan keyakinan kepada Tuhan.
Jangan ragu untuk memberikan penolakan-penolakan halus hingga kasar ketika terdapat penyimpangan saat kita raba mulai tercium penyimpangan. Sebab masih terdapat kemungkinan si A gagal merekayasa pihak B, ia akan merekayasa untuk pihak lain, dan lalu muncul sebagai pihak baru yang berperan sebagai tandingan. Tidak perlu menantikan ratu adil apalagi yang dengan mudahnya mentransaksikan antara yang primer dan ditukar dengan yang tersier. Yang primer itu adalah pilihan. Perhatikan baik-baik pilihan. Korelasikan terus setiap pilihan dengan konsep rukun Islam. Jangan kehilangan pakem pilihan. Itulah ta’dib, ciri, unggah-ungguh, sopan-santun, adab, yang harus menjadi corak utama ummat Islam baik secara individu maupun berhimpun.
Selalu harus kita miliki pemahaman bahwa yang primer memiliki harga yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan yang tersier. Bahkan kalau perlu dijunjung sampai mati sekalipun. Sekuat apapun yang ingin menggoyahkannya, harus kita ingat bahwa tidak ada kekuatan yang lebih kuat selain kekuatan dari Allah SWT. Jikalau memilih ratu adil, haruslah kita ketahui detailnya terlebih dahulu. 99 Asma Allah SWT bisa dimanipulasi segala cara dengan adanya nuansa. Pemahaman yang bisa kita pegang ialah 99 Asma itu adalah milik Allah SWT, dan bukan anjuran untuk kita menjelaskannya kepada pihak lain. Selain 99 itu masih terdapat sifat Allah SWT misalkan Wujud. Bisa dimanipulasi dengan nuansa didapatkannya ilmu melalui perwujudan Sekolah, didapatkannya kesehatan melalui perwujudan rumah sakit dll. Lebih baik untuk tidak memprasangkai sifat dan asma Allah SWT ada di tingkat kemakhlukan apalagi menyangka bahwa terdapat makhluk yang menjadi representasi dari Allah SWT tanpa memiliki ilmu dan pemahaman yang lebih jernih dan suci.
Rakaat Panjang
Sebuah pertanyaan dari Mas Tyo tentang rakaat panjang yang sedang kita jalankan, apakah juga terdapat rakaat pendek? Lalu terkait kejadian 4 November 2016, apakah masyarakat Maiyah mendukung atau tidak. Direspon oleh Mas Agus bahwa setiap ada rakaat panjang pasti tersusun atas rakaat-rakaat pendek didalamnya. Dimana setiap bulatan rakaat pendek tersebut selalu terdapat salam. Penting untuk kita ketahui bahwa tidak akan rela jika Allah SWT melihat kita sangat kesusahan. Manusia sering merasa bahwa kesenangan yang diberikan dengan durasi yang lama oleh Allah SWT tidak terasa dan mudah dikalahkan oleh kesusahan sekian menit saja. Yang menjadi masalah ialah ketidak mengertian kita tentang kapan waktu salam tersebut. Oleh karena itu kita perlu mengakomodir bentuk sholat secara muamalah. Ibadah sholat mahdoh tetap dilakukan namun muamalahnya juga harus kita ketahui dan kita akomodir lebih baik lagi. Kedua, tentang dukungan atau tidak tentang kejadian 4 November 2016 tersebut tidak begitu penting karena sudah terlewat. Satu-satunya yang didukung adalah kebersamaan dalam cinta yang berjalin kepada Rasulullah SAW dan kepada Allah SWT.
Ambil bacaan-bacaan yang perlu untuk melangkah ke depan dengan menjadikan kejadian tersebut sebagai sebuah informasi bahwa Islam sangat merindukan satu hal yakni Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Bahaya yang bisa terjadi ialah ketika baru melihat ilusi yang seakan-akan sampai kepada hal yang dirindukan tersebut, sudah terlanjur menyimpulkan bahwa cita-cita telah dikabulkan. Oleh karena itu harus memiliki analisis yang tajam karena skenario ilusi itu sangat mudah mengelabui pandangan mata.
Mas Yasin seorang sedulur yang jauh-jauh datang dari Waro` Kaprawiran pun memberikan respon berupa pertanyaan tentang proses menuju Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur tadi terdapat tahapan-tahapannya atau seketika. Direspon oleh Mas Agus bahwa terdapat kemungkinan pada keduanya. Namun tahapan yang harus kita ketahui tentang kesadaran untuk memilih tadi. Dan mengenali tahapan-tahapannya. Sehingga perlu adanya proses mentadabburi terlebih dahulu untuk : jangan tergesa-gesa untuk mengambil kesimpulan terhadap peristiwa. Bisa kita rintis dari sekarang tentang kedaulatan-kedaulatan lokal ataupun regional sehingga berkemungkinan muncul kedaulatan secara massive yang integral dan terkoordinasi layaknya sebuah organisme yang solid. Harus ditemukan terlebih dahulu rakaat-rakaat pendek, dengan tetap tidak kehilangan pengamatan diri dan peristiwa.
Sebagai bangsa yang dulu berdaulat bisa dilihat karena memiliki pemimpin yang baik, karena memiliki si pemimpin dikaruniai wahyu keprabon. Masyarakat hanya asal tahu beres ataupun tidak beres saja (pasrah bongkokan). Ketika seseorang tidak beres ia rela dihukum, ketika ia beres ia siap menerima welas asih sang pemimpin melalui pranatan yang telah diatur. Sehingga kondisi ini justru banyak membuat masyarakat memilih bermalas-malasan menemukan kesadaran-kesadaran ruhani yang otentik. Makin lama makin tumbul dan tidak memiliki ketajaman bathin yang baik. Hingga ketika kemudian datang model kepemimpinan yang baru. Lantas dipimpin oleh seseorang yang sudah tidak punya wahyu keprabon, masyarakat sudah buta analisa dan tetap tidak paham ia pimpinan atau suruhan, dan satu-satunya bakat yang dibawa adalah pasrah bongkokan kepada yang dianggap sebagai pemimpin. Di sinilah pentingnya kesadaran otentik. Bukan anut gubyuk ataupun pasrah bongkokan.
Ada lebih banyak cara menjumpai kesadaran ruhani yang meningkat baik justru ketika berjumpa dengan ketidaknyamanan dan keterhimpitan. Kembali pada baldatun thayyibatun, thayibb itu belum tentu rabbun ghafur. Namun ketika memprimerkan posisi kita di dalam rabbun ghafur Insya Allah otomatis masuk dalam kondisi yang baldatun thayyibatun.
Salam
Berikutnya muncul sebuah respon pertanyaan tentang indikator Salam. Yang lebih baik ialah menganalisis dengan mencoba menemukan kesesuaian peristiwa diluar dan didalam. Jika secara ilmu dan pemahaman, jalani dulu rakaatnya untuk berikutnya apakah sinkron atau tidak.
Mas Arip juga mengajukan pertanyaan tentang bagaimana mengetahui peran dan posisi kita di kehidupan ini sebagai apa (secara individual). Direspon oleh Mas Agus bahwa jelas diketahui peran kita sebagai khalifah dan abdi. Apa yang dilakukan bebas asal bisa mendekatkan dengan Allah SWT. Lebih kita olah lagi dengan mendengarkan fatwa hati kita oleh karena itu perlu tadabbur dengan hati yang bersih.
Sholat selain mahdhoh alangkah lebih baik jika bisa dipahami tentang muamalahnya juga. Agar pertahanan di antara titik waktu Sholat dengan berbuat yang baik, tidak fasak, dan munkar. Sholat secara muamalah bisa digambarkan pada saat bangun tidur langsung dihadapkan dengan fenomena hari.
Dimulai dari shubuh, fajar, siang, hingga malam untuk menuju fajar kembali. Memulai waktu untuk berbuat akan sesuatu dengan membuka mata di pagi hari. Pada saat itu bagai hendak punya gawe, punya ewuh, akan punya hajat dan terasa repot. Maka harus sebo ing pakewuh (menghadap dengan menyadari kelemahannya) dengan tawaf sebanyak dua rakaat karena di waktu itu suasana yang masih jernih, bening, segar.
Seiring berjalannya waktu terjadi kekeruhan dengan munculnya suara macam-macam, entah knalpot, klakson, entah gunjingan dll. Lalu baiknya meluhurkan diri dengan tawaf sebanyak empat rakaat (dhuhur) kemudian diimbangi setelah keluhuran tersebut dengan adanya andhap asor dengan tawaf empat rakaat lagi (ashar).
Dan ketika memasuki waktu Maghrib ialah perlu mageri urip dengan tawaf sebanyak tiga rakaat, agar pikiran, raga dan ruh masuk dalam keadaan terjaga. Ketika malam hari perlu untuk wasesa (wasis lan isa) setelah itu seperti akan dimatikan lagi sehingga perlu untuk bertawaf kembali sebanyak empat rakaat. Setelah hal tersebut dilakukan maka biso mulat (solat) berfungsi untuk memindai setiap keadaan dalam setiap waktu. Dan ketika nafsu sudah bukan menjadi amarah, lawammah maka akan menjadi nafsu yang tenang yakni muthmainnah. Maka insan muthmainah Insya Allah memiliki kondisi hati lebih mudah ridho, sehingga setiap harinya akan dikaruniai keberkahan dan keridhaan Allah SWT.
Diskusi jeda sejenak pukul 24.00 untuk makan bersama dengan suguhan dari Mas Mundari sebagai tanda syukur. Setelah makan bersama, diskusi berlanjut dengan terlebih dahulu memanjatkan do’a yang dipimpin oleh Mas Didit sebagai ungkapan syukur dan pengharapan atas apa yang kita lakukan adalah sesuai yang diinginkan Allah SWT.
Diskusi berlanjut begitu hangat di tengah hembusan angin malam yang sejuk di kaki gunung ungaran hingga adzan shubuh berkumandang seraya berharap mendapat keberkahan baik untuk diri sendiri maupun sekitar.
Semarang, 12 November 2016
Redaksi Majlis Gugurgunung