Pemimpin Setaraf Tuhan
Tahqiq“Andaikan ada seseorang yang menjalani hidup sehat dan mampu membuktikan bahwa hidupnya memang sungguh-sungguh sehat, maka itu tidak atau belumlah sehat sebelum dokter mengakuinya sebagai sehat”
“Itu baru soal badan atau fisik manusia. Belum mentalnya, akal pikirannya, hati dan rohaninya, kebudayaannya, politiknya, peradabannya, perilaku beragamanya….”
Jitul memperluas pembicaraannya, tapi dipotong oleh Toling.
“Seakan-akan obat-obat dibikin dengan maksud rahasia untuk memperpanjang lamanya orang sakit. Bahkan seolah-olah membuat orang yang berobat menjadi semakin sakit. Atau sekurang-kurangnya dibikin tidak segera sembuh. Minimal para pasien dibuat merasa sakit. Seolah-olah ada sebaran informasi dan pembiasaan publik untuk secara psikologis tidak pernah benar-benar merasa sehat
Toling dan Jitul bersahut-sahutan.
“Kesehatan letaknya di mulut dan tangan dokter, tidak pada kesadaran dan cara hidup para pasien. Bahkan masyarakat diresmikan identitasnya sebagai pasien”
“Pasien adalah orang yang memerlukan dokter untuk sehat. Pasien selamanya tetap pasien karena ia tidak pernah berdaulat atas kesehatannya. Pasien tidak pernah diakui kemungkinannya untuk memiliki pemahaman dan keterampilan untuk sehat”
“Pasien tetap pasien karena ia tidak pernah dilatih untuk mendokteri dirinya sendiri. Pasien tidak punya pengetahuan, kemampuan dan hak untuk memastikan kesehatannya sendiri. Apakah ia sehat atau sakit, yang berdaulat menentukan bukanlah dirinya sendiri”
“Karena dokter adalah satu-satunya makhluk di muka bumi yang memiliki kekuasaan mutlak untuk menandatangani sehat atau sakitnya siapapun saja. Tidak ada orang yang diakui merasa sehat kalau dokter tidak menyatakannya sehat”
“Siapapun saja di antara manusia, yang umpamanya mengerti hal-hal yang primer maupun sekunder tentang sehat dan sakit, pengertiannya itu tidak sah secara ilmu dan tidak legal secara aturan masyarakat maupun Negara, sebelum dokter menyetujuinya”
“Andaikan ada seseorang yang menjalani hidup sehat dan mampu membuktikan bahwa hidupnya memang sungguh-sungguh sehat, maka itu tidak atau belumlah sehat sebelum dokter mengakuinya sebagai sehat”
“Bahkan orang yang hidup dan badannya lebih sehat dibanding dokter, bahkan siap dipertandingkan atau diperbandingkan kadar kesehatannya melawan dokter-dokter, dengan parameter-parameter yang dianut oleh para dokter – seluruh fakta kesehatannya itu bukanlah benar-benar sehat, kecuali dokter memberinya surat bukti bahwa ia sehat”
“Hampir bisa dipastikan bahwa dokter itu tidak mungkin berbuat salah. Apapun saja yang dia katakan tentang pasien, tidak mungkin salah. Obat apa yang harus dibeli oleh pasien, selalu adalah obat kebenaran. Apakah seorang pasien akan diobati lantas diperbolehkan pulang atau harus opname, itu bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan”
“Kalau ada yang mengatakan bahwa dokter melakukan malpraktik, yang perlu dipertanyakan adalah pihak yang mengatakannya. Tidak bisa dibayangkan di dalam peta pikiran, tidak bisa diandaikan di dalam alur tradisi masyarakat, bahwa dokter pernah melakukan sesuatu yang bukan kebenaran”
“Dokter itu mirip Nabi atau Rasul. Dalam sejumlah hal ia mungkin adalah semacam Malaikat yang mewujud. Kalau Nabi dan Rasul dianugerahi sifat ma’shum, terpelihara oleh Allah dari segala macam kesalahan dan kekhilafan, maka wilayah dokter pastilah di ranah yang sama. Sebagaimana para Malaikat, Nabi, Rasul, dan satu-dua makhluk lain, dokter bertempat di titik yang sangat dekat dengan alamat Tuhan. Kebenaran dokter berada di satu tabung arasy yang sama dengan kebenaran Tuhan. Mungkin ada yang menyimpulkan bahwa dokter itu setaraf dengan Tuhan”
“Malah mungkin para Nabi, Rasul, Malaikat dan Tuhan pun tidak sampai sedemikian seiring sejalan dengan kebenaran. Andaikan para pemimpin ummat manusia, para Ulama dan pemuka-pemuka Agama, dipercaya oleh masyarakat sejauh dokter dipercaya oleh mereka, maka indah dan sejahteralah peradaban ummat manusia. Andaikan para Kiai, pejabat dan pemuka-pemuka masyarakat dipatuhi oleh rakyat sejauh dokter dipatuhi, betapa idealnya kehidupan di dunia ini”
“Dengan agak sedih tampaknya perlu diakui bahwa, mohon maaf, kepatuhan manusia dan masyarakat kepada Tuhan pun tidak sekontan dan semantap kepatuhan mereka kepada dokter. Kaum beragama bisa dengan tenang tanpa beban tidak menjalankan ibadah sembahyang selengkap yang Tuhan memperintahkan, tetapi mereka tidak berani satu kali pun tidak melakukan apa yang dokter perintahkan. Bahkan banyak penyembah Tuhan yang puluhan tahun tidak melakukan shalat, tapi kalau dokter memerintahkannya minum obat tiga kali sehari — tidak satu kali pun mereka berani absen meminum obat”
“Sangat banyak orang merasa ragu, bingung, atau tidak benar- benar mempercayai firman Allah, tetapi tidak sekalipun mereka pernah mempertanyakan hal-hal yang menyangkut obat yang direkomendasikan atau diberikan oleh dokter. Tidak ditanyakan kenapa obat yang ini, kok bukan obat yang itu. Kenapa dua kali tiga sehari, apa hubungan persisnya dengan sakit yang mereka derita, serta apapun yang terkait”
“Sedangkan Tuhan menyuruh mereka membayar pajak dalam rangka bersyukur sekadar dengan meluangkan waktu beberapa menit kali lima kali sehari, mereka bertanya: kenapa harus lima kali sehari?….”
Jitul dan Toling menggebu-gebu bergantian.