CakNun.com
Reportase Kenduri Cinta April 2016

Pemimpi Kepemimpinan

Kenduri Cinta
Waktu baca ± 32 menit

Jika anda berbicara tentang Islam tidak bisa dilepaskan dari fiqih. Jika anda berbicara tentang iman tidak bisa dilepaskan dari tauhid. Dan, ketika anda berbicara tentang ihsan, anda tidak bisa melepaskan diri dari tasawuf.

Kezuhudaan Khulafaur Rasyidin, Umar bin Khattab, digambarkan dengan; lam yuriidu-d-dunya wa qod arodathu. Umar tidak mencintai dunia, tetapi dunia menginginkan Umar. Dunia mencintai Umar karena Umar tidak akan mengambil yang syubhat apalagi yang haram dari dunia. Berikutnya, Utsman bin ‘Affan, digambarkan dengan; naala-d-dunya wa dunya naalathu, Utsman mendapatkan dunia dan dunia mendapatkan Utsman. Apa yang dilakukan oleh Utsman bin ‘Affan adalah bukan meninggalkan dunia, tetapi meninggalkan kecintaan kepada dunia.

Kemudian Khalifah Ali bin Abi Thalib digambarkan; ahyaanan yuriidu-d-dunya wa ahyaanan tarku-d-dunya, terkadang senang terhadap dunia, terkadang meninggalkan dunia. Dari keempat Khalifah tersebut, sebenarnya bermaura pada satu hal: Zuhud.

Lewat tengah malam, dua buah puisi karya Cak Nun yang berjudul “Tikus” dan “Anatomi” dibawakan oleh Syahrul. Kemudian, Fadhil membawakan beberapa nomor-nomor akustik yang menyegarkan suasana malam.

Sebelum mempersilahkan Cak Nun naik keatas panggung, Ibrahim melengkapi penjelasan Ust. Noorshofa yang mengambil beberapa nilai-nilai kezuhudan dari Khulafaur Rasyidin. Ibrahim menggambarkan bahwa Abu Bakar adalah simbol Kebijaksanaan, Umar menggambarkan simbol Keberanian, Utsman adalah simbol Kedermawanan dan Ali adalah simbol Kecerdasan. Dari 4 simbol ini, Ibrahim berpendapat bahwa seorang pemimpin membutuhkan 4 pilar untuk menopang dan mengawal jalannya kepemimpinan yang ia emban, dan keempat sahabat Rasululllah SAW tersebut merupakan pilar yang menopang kepemimpinan Rasulllah SAW saat itu.

Tafsir dan Tadabbur

“Perlakukan setiap kata sebagai pintu. Setelah anda melewati pintu maka anda akan menemukan ruangan”, Cak Nun mengawali diskusi sesi puncak Kenduri Cinta kali ini dengan pijakan awal yang sangat mendasar untuk menyadari bahwa Ilmu dari Allah yang diberikan kepada manusia sangatlah sedikit, bahkan ilmu yang sangat sedikit itu pun seringkali kesulitan untuk dijangkau dan dipahami. Cak Nun mengingatkan bahwa puncak dari forum Maiyahan seperti ini adalah setiap individu mampu mengerti dalam dirinya tentang kadar apa yang diketahui dan apa yang belum diketahui.

Sejenak kemudian, Cak Nun menjelaskan bahwa sebelum Maiyahan bersama Kiai Kanjeng akhir-akhir ini telah digunakan tagline “Sinau Bareng” dan “Ngaji Bareng”. Dahulu, pernah menggunakan “Pengajian Tombo Ati”.

“Anda tahu beda antara Mengaji dan Mengkaji? Kalau mengkaji itu peristiwa intelektual akademis. Dan, mengaji itu golnya adalah martabat serta ilmu yang bermanfaat secara batin”, tutur Cak Nun.

Terhadap Al Qur’an itu 90% mengaji, dan 10% mengkaji. Cak Nun kemudian menjelaskan bahwa menurut Sabrang terdapat dua pendekatan dalam belajar, yaitu  “belajar dari” dan “mempelajari”. Dan, sebaiknya “belajar dari” harus lebih banyak dari “mempelajari”. Karena, dengan pijakan “belajar dari” ada banyak kemungkinan-kemungkinan untuk membuka pintu ilmu pengetahauan yang lebih luas daripada dengan menggunakan metode “mempelajari”. Bahkan, mempelajari diri sendiri pun, kita belum tentu akan sampai pada tahap mengetahui yang sesungguhnya.

Magnet Maiyah
Magnet Maiyah. Foto: KC.

Tagline “Ngaji Bareng” dan “Sinau Bareng” yang selama ini diangkat dalam setiap Maiyahan di beberapa tempat selanjutnya diduplikasi oleh beberapa pihak di Indonesia. Namun, seperti hal nya ketika seseorang menikmati makanan ketoprak, jika setiap hari yang disajikan adalah ketoprak, maka sudah pasti akan menghadapi rasa bosan. Oleh karena itu mulai bulan April ini tagline yang diangkat oleh Maiyah adalah “Tadabburan Bersama”.

Kali ini Cak Nun mengeksplorasi lebih dalam untuk membahas Tadabburan. Selama ini, antara manusia dengan Al Qur’an, jarak yang membentang diantara keduanya selalu diisi dengan tafsir, sehingga yang lahir adalah para mufassir atau ahli tafsir. Dan, tentu saja tidak mungkin semua orang mampu menjadi ahli tafsir, sebab ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang ingin menjadi ahli tafsir, selain harus beragama Islam, dia harus mampu menguasai Bahasa Arab dan semua ilmu yang berkaitan seperti Nahwu, Shorof, Balaghoh, dan seterusnya. Seorang Ahli Tafsir juga harus mengetahui asbabu-n-nuzul sebuah ayat yang diturunkan, apa peristiwa yang melatarbelakangi ayat tersebut diwahyukan, dan beberapa syarat-syarat yang lain juga harus dipenuhi oleh seorang ahli tafsir.

Cak Nun menjelaskan bahwa metode yang dilakukan oleh Al Qur’an tidak sama dengan apa yang dilakukan oleh dunia akademisi saat ini. Jika di dunia akademisi saat ini, untuk mempelajari sebuah ilmu pengetahuan kita dapat dengan mudah menentukan di fakultas mana akan kuliah, misalnya. Jika ingin belajar pertanian, maka kuliahlah di fakultas pertanian. Tetapi, Al Qur’an tidak menggunakan metode pendekatan seperti ini. Belum tentu kita akan menemukan ilmu seluk-beluk sapi di Surat Al Baqoroh. Justru, ada banyak pintu-pintu ilmu yang sangat jauh dari sapi di Surat Al Baqoroh. “Jadi jangan mempelajari Al Qur’an. Tetapi, belajar dari Al Qur’an. Itulah bedanya Tafsir dan Tadabbur”, lanjut Cak Nun.

Di Al-Qur’an tidak ada saran untuk menafsirkan. Justru, yang ada adalah perintah untuk mentadabburi Al Qur’an. Untuk hal ini Cak Nun mengajak jamaah Kenduri Cinta untuk lebih spesifik memahami perbedaan antara tafsir dan tadabbur. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Tafsir Al Qur’an adalah peristiwa akademis, sehingga ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk kemudian diakui sebagai seorang ahli tafsir, sedangkan untuk men-tadabburi Al Qur’an tidak membutuhkan syarat apapun dalam melakukannya, karena hasil akhirnya adalah bukan dokumentasi akademis melainkan manfaat lahiriah yang dirasakan oleh orang yang mentadabburi dan juga lingkungan di sekitarnya.

Cak Nun menekankan bahwa benar adanya jembatan bermana tafsir untuk memahami Al Qur’an, tetapi juga harus diketahui dan difahami bahwa ada jembatan lain bernama tadabbur. Wilayah tadabbur menjangkau skala yang lebih luas daripada wilayah tafsir bagi yang melakukannya, jika tafsir harus mempersyarati seseorang dengan sekian syarat, tidak halnya dengan tadabbur. Siapapun anda, apapun pekerjaan anda, apapun latar belakang pendidikan anda, selama tujuannya adalah mencari manfaat sebaik-baiknya dari Al Qur’an, anda berhak untuk melakukan tadabbur Al Qur’an.

Dengan contoh yang lebih mudah, Cak Nun menjelaskan bagaimana saat kita membeli kendaraan bermotor, kita tidak perlu mengetahui siapa direktur pemilik kendaraan bermotor tersebut, atas dasar apa kendaraan itu dirilis, kenapa kendaraan itu dirilis sekarang dan sebagainya, pertanyaan-pertanyaan demikian adalah tugas ahli tafsir. Sebagai manusia biasa, maka yang dilakukan adalah memikirkan bagaimana menghasilkan manfaat sebaik-baiknya setelah kendaraan itu dimiliki. Sikap inilah yang seharusnya ditanamkan dalam diri setiap individu manusia kepada Al Qur’an, sehingga tidak ada ungkapan bahwa seseorang merasa awam terhadap Al Qur’an hanya karena dia bukan Ahli Tafsir, karena setiap kali bertadabbur kepada Al Qur’an, maka ia sedang belajar dari Al Qur’an dan mencari manfaat yang sebaik-baiknya dari Al Qur’an. Dan jika diperluas resonansinya, kita bisa melakukan Tadabbur kepada Alam, kepada Angin, kepada Pohon dan seluruh Alam Semesta.

Dengan adanya sekat tafsir, seakan terbangun sebuah batas yang membentang antara manusia dengan Al Qur’an. Padahal ada banyak sekali hal-hal yang sangat memungkinkan dijadikan pintu bagi setiap manusia untuk tadabbur terhadap Al Qur’an. Al Qur’an memiliki aturan mainnya sendiri, satu contoh dalam surat Al Ikhlas tidak ada satupun ayat didalamnya yang menyebutkan kata Ikhlas. Cak Nun mencontohkan pula seorang ilmuwan Jepang yang berhasil melakukan penelitian bahwa salah satu ramuan mujarab untuk awet muda adalah dengan mengkonsumsi satu buah tin dan tujuh buah zaitun dikonsumsi satu kali setiap hari. Dari peristiwa ini kita melihat bahwa Allah memberikan hidayah kepada siapapun saja, bahkan kepada seorang imuwan yang tidak beragama Islam sekalipun. Dalam penelitian lebih lanjut, diketahui kemudian bahwa kata At Tiin hanya sekali disebutkan dalam Al Qur’an dan kata Zaitun disebutkan sebanyak 7 kali di Al Qur’an.  Sehingga jika difahami lebih mendalam, sesungguhnya semua orang tidak awam dengan Al Qur’an, karena semua orang memiliki caranya masing-masing untuk bertadabbur kepada Al Qur’an.

Dan cara manusia mentadabburi Al Qur’an jangan sampai diatur-atur oleh orang lain, biarkanlah setiap individu menemukan sendiri polanya masing-masing untuk mentadabburi Al Qur’an sebagai wujud bukti kecintaannya kepada Al Qur’an.

“Cinta itu kondisi, mencintai itu aktifitas. Mencintai itu tidak harus cinta, mungkin kamu tidak terlalu cinta tetapi kamu mencintai. Mencintai itu komitmen, setia, kerja keras untuk menyenangkan dan membahagiakan orang yang kamu cintai. Maka bekal yang utama bukan cinta pribadimu tetapi kebersamaan cintamu kepada Tuhan diantara orang yang saling mencintai”, ungkap Cak Nun.

Memahami Negara dan Negeri

“Ilmu itu tidak akan habis anda masuki, baik dengan intensifikasi maupun dengan ekstensifikasi”, Cak Nun meneruskan uraiannya sembari perlahan-perlahan memasuki tema Kenduri Cinta kali ini. Sudah lazim kita dengar di beberapa pengajian ketika membahas tentang kepemimpinan maka harapan yang diinginkan adalah terwujudnya baldatun thoyyibatun wa robbun ghoffur.

Cak Nun menerangkan terminologi baldatun thoyyibatun wa robbin ghoffur sebagai salah satu contoh yang tidak pernah ditadabburi oleh masyarakat Islam saat ini. Sementara itu, apa yang dilakukan oleh Kenduri Cinta ini merupakan salah satu proses tadabbur, bukan berarti Tafsir itu tidak penting, tetapi Tafsir itu mempersyaratkan banyak hal agar seseorang diperbolehkan melakukan tafsir.

Kata baldatun memiliki satu resonansi yang sama dengan bilaadun dan baladun. Bilaadun dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia berarti negara, seperti lagu kebangsaan Mesir yang menggunakan kata bilaadi. Tetapi jika baldatun, cakupan wilayahnya tidak terbatas pada batas teritorial seperti layaknya sebuah negara. Baladun memiliki arti yang lebih umum lagi.

Cak Nun mengajak jamaah untuk kembali menelaah perbedaan antara negara dan negeri. Dari hal yang mendasar ini, Cak Nun menjelaskan bahwa urusan Pilkada merupakan urusan negara, sedangkan acara Maiyahan yang berlangsung seperti di Kenduri Cinta seperti ini merupakan urusan negeri. Sehingga tema-tema mengenai negara yang dibahas di dalam Maiyahan pada hakikatnya adalah sebuah sedekah yang diberikan oleh jamaah maiyah kepada negara. Karena, yang paling utama dibahas di dalam Maiyah adalah persoalan-persoalan negeri.

Negara memiliki batas teritorial formal, kemudian ada aturan perundang-undangannya, dan segala tatanan kehidupan yang sudah diatur oleh para pejabat negara. Sedangkan negeri tidak mengenal aturan-aturan baku seperti itu, karena yang menjadi batas di dalam negeri adalah cinta di dalam batin setiap masing-masing individu. Sehingga, di Maiyah yang menjadi fondasi utama adalah mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar, karena Maiyah merupakan salah satu bentuk dari manifestasi sebuah negeri. Dan, setiap orang yang hadir di Maiyah bukan datang karena ada konstitusinya, bukan karena ada pasal hukumnya, bukan karena adanya aturan yang mengharuskan jamaah datang ke Maiyah.

Satu contoh kasus, ketika seorang suami harus membiayai istrinya melahirkan anaknya dan suaminya tidak mempunyai uang sehingga terpaksa mencuri sepeda untuk digadaikan dan uangnya digunakan untuk membiayai persalinan istrinya, secara hukum negara suami tersebut dinyatakan salah. Tetapi, di dalam wilayah negeri tidak sesempit itu persoalannya. Sehingga, dalam sebuah negeri kepemimpinannya tidak terbatas dalam wujud tokoh seseorang saja, karena semua orang berhak menjadi Pemimpin. Kepemimpinan di Maiyah tidak harus figur, dan semua jamaah Maiyah bisa menjadi pemimpinnya, karena pemimpin adalah output dari kepemimpinan. Tetapi, yang terjadi di sebuah negara, subjek utamanya adalah pemimpin yang belum tentu memiliki output Kepemimpinan. Bahkan, salah satu bentuk kesalahan penggunaan kata di Indonesia adalah penggunaan kata “negeri” di dalam “Pegawai Negeri Sipil”, sehingga bisa untuk dipahami bahwa Negara Indonesia tidak memiliki pegawai.

Orang boleh saja mengatakan bahwa urusan bahasa adalah urusan yang sepele, tetapi pada faktanya semua kerusakan-kerusakan yang ada di dunia saat ini salah satu penyebabnya adalah karena manusia tidak meletakkan kata sesuai pada fungsinya. Seperti yang terjadi di Indonesia, antara negara dan negeri saja tidak banyak orang yang menyadari bahwa kedua kata tersebut memiliki resonansi dan artikulasi yang begitu jauh berbeda.

Cak Nun menekankan, jika memang kita memiliki tujuan untuk memperbaiki keadaan Indonesia, perbaiki terlebih dahulu hal-hal yang sangat mendasar, seperti perbedaan antara negeri dan negara ini. Apalagi, yang ada di Indonesia adalah Undang-Undang Negara, bukan Undang-Undang Negeri. Sehingga sangat aneh ketika seorang Pegawai Negeri justru taat kepada negara, dan sangat wajar ketika seorang Pegawai Negeri melanggar Undang-Undang Negara dan lebih taat kepada atasannya, karena memang pada dasarnya tidak ada Undang-Undang Negeri. Alhasil, tentu saja akibat dari kesalahan yang sangat fatal ini adalah kerancuan pemerintah dalam mengurusi Negara Republik Indonesia.

Berbelok sejenak dari pembahasan yang sedang menghangat, ada sebagian masyarakat Jakarta tidak menginginkan dipimpin oleh pemimpin yang bukan dari golongan Islam, untuk ini Cak Nun menegaskan agar melakukan instrospeksi terlebih dahulu kedalam wilayah internal individu masing-masing. Dengan kata lain, apa investasi mereka sebenarnya sehingga mereka merasa layak dan harus dipimpin oleh orang Islam? Apa andalan mereka sehingga merasa tidak layak dipimpin oleh setan, bahkan iblis? Karena, realitanya, yang harus diperbaiki terlebih dahulu adalah individu masing-masing manusianya. Kita lihat di Jakarta dalam skala yang sangat kecil saja, setiap hari begitu banyak orang melanggar aturan lalu lintas di jalan raya, menerobos lampu merah, menerobos jalur yang tidak seharusnya dilalui.

Contoh-contoh kecil ini juga dianggap oleh banyak orang adalah hal yang sepele. Tetapi, pada skala yang lebih besar, kita melihat ada pihak-pihak yang menganggap bahwa melanggar hukum sudah merupakan hal wajar.

Pejabat memutuskan undang-undang yang tidak semestinya dikeluarkan. Pejabat melakukan korupsi dan merasa tenang-tenang saja meskipun ada KPK. Dan, itu fakta yang terjadi hari ini. Oleh karenanya, bagaimana mungkin kita merasa memiliki hak untuk tidak pantas dipimpin oleh setan, sedangkan perilaku-perilaku kita sendiri di kehidupan nyata merepresentasikan perilaku-perilaku setan.

Fenomena ini diperparah dengan pemahaman manusia terhadap segala sesuatu yang berdasarkan konsep materialisme. Orang ingin menikmati kehidupan di surga karena merasa di dunia sudah tidak bisa merasakan kemewahan-kemewahan yang dirasakan oleh orang lain, seperti memiliki rumah yang besar, kendaraan nyaman, makanan yang enak, dan sebagainya. Semangat yang dibangunnya adalah semangat materialisme dalam mengkonsepsi surga.

Padahal, surga bukan berada di dalam rentang waktu yang linier saja, yaitu pemahaman bahwa saat ini bukanlah surga dan di akhirat nanti baru akan ada surga. Menurut Cak Nun kehidupan di surga adalah kehidupan dimana manusia sudah tidak perlu berjuang lagi, sebab apa yang diinginkan oleh manusia di surga nanti akan didapatkan tanpa perjuangan keras seperti di dunia. Maka, kehidupan di dunia saat ini adalah perjuangan untuk kelak mendapatkan surga. Dan, yang terpenting adalah jangan mengukur kenikmatan surga dengan kenikmatan dunia, karena berbeda 100% dari apa yang kita bayangkan saat ini.

“Kalau engkau sudah memasuki dunia batin dan sifat waktu yang sesungguhnya maka surga ada dalam dirimu, sekarang juga”, lanjut Cak Nun.

Begitu sempitnya manusia memahami bahwa surga dimengerti dalam tataran materialisme, dan kebanyakan orang pada akhirnya terjebak dalam konsep bahwa yang paling utama dalam hidup ini adalah mencapai kesuksesan-kesuksesan yang bersifat materialisme. Sangat jarang orang memahami bahwa kehidupan di dunia ini merupakan ladang perjuangan, dimana dunia ini sejatinya tidak ada puncak kesuksesan. Segala materialisme yang dipuja-puja oleh banyak orang, yang diagung-agungkan oleh banyak orang dan dianggap sebagai sebuah kesuksesan sebenarnya belum tentu semua itu mengantarkannya kepada surga yang hakiki.

Menghidupkan Nuansa Ta’dib

Saat ini dunia akademisi di Indonesia begitu banyak dipenuhi konsep ta’lim dan kehilangan konsep ta’dib. Ta’lim adalah peristiwa seseorang mengalami perubahan dari tidak tahu menjadi tahu. Dan, untuk menyelaraskan proses ta’lim ini, maka dibutuhkan “agen” yang membawa pengetahuan baru yang sebelumnya tidak diketahui oleh banyak orang, sampai akhirnya orang pun mengetahui pengetahuan tersebut. Di Indonesia, mayoritas orang berhenti pada proses ta’lim saja, padahal sesungguhnya ada tahapan lain: ta’rif, tafhim, taf’il dan ta’dib.

Dalam pemahaman sederhana, ta’dib adalah proses pemberadaban dimana sekolah-sekolah saat ini tidak memiliki urusan dengan peradaban ruhani dan moral, sehingga yang terjadi di dunia akademisi sebagian besar adalah peristiwa ta’lim. Jika seorang Profesor melakukan zina terhadap mahasiswinya, misalkan, maka gelar profesornya tidak akan dicabut karena gelar profesor adalah wilayah akademis. Begitu juga yang terjadi ketika seorang magister menjabat suatu jabatan kemudian melakukan korupsi, maka gelar magister yang disandangnya tidak akan dicopot oleh lembaga pendidikan yang mengeluarkan ijazahnya. Karena, peristiwa pendidikan di Indonesia hanya bersifat ta’lim dan tidak memiliki konsep hubungan yang erat terhadap ruhani dan moral.

Cak Nun bercerita bahwa di Padhangmbulan, Jombang, sebulan sekali ada event yang disebut “Ta’dib Padhangmbulan” dimana pesertanya adalah para siswa-siswi SMK Global, sekolah milik keluarga besar Cak Nun di Jombang. Yang dilakukan oleh para guru dan para siswa dalam ta’dib Padhangmbulan itu merupakan aktifitas empiris, mereka tidak hanya menerima materi dari para narasumber, melainkan terjadi peristiwa proses penggalian kemampuan-kemampuan dari setiap siswa. Mereka tidak hanya menjadi pihak yang pasif menerima informasi, tetapi juga menghasilkan informasi. Sama seperti yang terjadi di forum-forum Maiyahan, bahwa yang terjadi adalah bukan jamaah diajari oleh narasumber melainkan narasumber yang hadir memancing cara berfikir jamaah yang datang melalui informasi-informasi yang disampaikan oleh narasumber.

Terhadap tema Pemimpi Kepemimpinan, Cak Nun menjelaskan bahwa di Kenduri Cinta tidak ada pemimpin, karena yang dibutuhkan di Kenduri Cinta dan juga di Maiyah adalah sikap kepemimpinan. Dan, seperti yang sudah dibahas pada diskusi sebelumnya, tema-tema kepemimpinan bisa mengambil sumber dari mana saja, bisa mengambil dari Al Qur’an, bisa dari Rasulullah SAW, bisa dari Khulafaur Rasyidin, bisa dari sistem kerajaan, bahkan dari binatang atau pohon pun bisa.

Cak Nun kemudian menyampaikan beberapa contoh bagaimana sikap kepemimpinan muncul dari dalam diri seorang Nabi, seperti ketika Rasulullah Muhammad SAW menjadi penengah masyarakat Mekkah yang berdebat atas siapa yang paling pantas meletakkan Hajar Aswad setelah pemugaran Ka’bah, saat itu Rasulullah SAW menggunakan surbannya yang di setiap ujung surban tersebut lalu dipegang oleh para pemimpin masyarakat setempat saat itu. Atau, ketika di Madinah, Rasulllah SAW mengamanatkan kepada seekor unta untuk menentukan dimana letak akan dibangunnya Masjid Nabawi. Dimana Unta itu berhenti dan beristirahat, maka disitulah masjid akan dibangun.

Atau, beberapa suku-suku pedalaman bahkan melibatkan makhluk Allah yang lain untuk menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin. Salah satu contohnya adalah dengan menggunakan lebah. Di sebuah suku pedalaman di Sulawesi, lebah menjadi media parameter bagi masyarakatnya untuk mengetahui siapa yang layak untuk menjadi pemimpin. Setelah 3 orang dipilih oleh masayarakat setempat untuk menjadi pemimpin selanjutnya seorang pawang lebah melepaskan ribuan lebah untuk mengerumuni ketiga orang tersebut. Dari ketiga orang itu akan terlihat siapa yang paling pantas untuk menjadi pemimpin.

Orang yang pertama bisa lari ketakutan dikejar oleh ribuan lebah. Sementara itu, ada orang kedua sangat kebal dengan lebah sehingga setiap lebah yang menyengatnya langsung mati saat menyentuh tubuhnya. Dan, ada orang yang ketiga mampu membuat kondisi sangat mesra dan nyaman antara dirinya dengan ribuan lebah yang mendekatinya. Tentu saja, orang yang ketiga adalah orang yang kemudian terpilih menjadi pemimpin mereka.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Topik