CakNun.com
Daur-I277

Pedang Ditarik Kembali

Tahqiq“…kalau tindakan melacur membawa teman Pakde itu menjadi hidup lebih baik, bahkan menyelamatkan masa depan si wanita itu, apakah kita akan menyimpulkan bahwa melacur itu baik?… ”

“Tetapi saya jadi ingat Sayyidina Ali yang menarik pedangnya dan mengurungkan tindakan untuk membunuh lawannya…”, Seger menawar kepada Brakodin.

Memang dalam perang tanding di suatu peperangan, Beliau Baginda Ali, yang memang tak terkalahkan oleh siapapun dalam duel pedang, tinggal menggerakkan sedikit tangannya untuk menancapkan ujung pedangnya sehingga musuhnya pasti akan mati. Beliau menarik kembali pedang itu karena khawatir ia membunuh karena kebencian dalam hatinya.

Brakodin mencoba menjelaskan. “Itu namanya dialektika sebab akibat dalam kehidupan. Manusia selalu harus berpedoman kepada sebab yang baik menuju akibat yang juga harus baik, dengan landasan ilmu yang baik, niat yang baik, serta perhitungan sematang-matangnya untuk menghasilkan sesuatu yang baik. Tetapi manusia juga harus tetap patuh kepada hukum alam dalam kehidupan sosial. Patuh pada kehendak Allah yang tidak bisa dirumuskan oleh setinggi apapun ilmu manusia…”

“Bagaimana maksudnya, Pakde”, Seger mengejar.

“Karena Belanda menjajah negeri kalian berabad-abad maka menjadi bersatu seluruh penduduk Nusantara, kemudian menyepakati berdirinya Negara kalian. Kesepakatan untuk berhimpun dalam persatuan dan kesatuan itu belum tentu terjadi andaikata tidak terjadi penjajahan sebelumnya. Jadi penjajahan itu disebut bencana ya bisa, dianggap berkah ya bisa. Itu kalau kita melihat secara statis dari salah satu sudut pandang. Tetapi hidup ini dinamis, bergetar, dan mengalir terus-menerus. Kita tidak bisa berpendapat bahwa supaya Negara berdiri maka dibutuhkan penjajahan. Tapi juga tidak bisa sepenuhnya kita mengutuk penjajahan, karena senyatanya penjajahan itu yang merupakan asal-usul persatuan dan kesatuan”

“Jadi tidak masalah bahwa suatu kaum menjadi bersatu karena kebencian atau karena menyepakati satu musuh bersama?”

“Tidak bisa juga dipastikan demikian, Seger. Tentu sangat indah kalau masyarakat bersatu karena imannya serta kebaikan-kebaikan yang lain. Tapi kalau Tuhan ternyata membimbing mereka menuju kebaikan, tetapi melalui tahap penggumpalan kebencian yang sama terhadap sesuatu, seseorang atau suatu kelompok, ya tidak ada alasan untuk menolaknya”

Brakodin kemudian bercerita tentang salah seorang temannya dulu beberapa lama sempat terperosok ke kebiasaan melacur. Sampai pada suatu malam, ketika ia tertidur di kamar pelacur itu, ia terbangun karena kaget mendengar suara lirih seorang wanita yang sedang mengucapkan doa-doa shalat. Ternyata si pelacur itu sedang bersembahyang.

Teman Brakodin mengalami guncangan besar. Bagaikan buyar struktur berpikirnya untuk beberapa lama. Sesudah pelacur itu selesai sembahyang, ia memberanikan diri bertanya. Dan pelacur itu mengatakan bahwa hampir tiap malam ia melakukan shalat hajat. Tentu mandi besar dulu sesudah melayani tamunya yang terakhir setiap malam.

Ia bercerita bahwa ia melacurkan diri diam-diam tanpa sepengetahuan orangtuanya. Kenapa? Ia bermaksud mengumpulkan uang untuk menolong orangtuanya yang sedang menanggung utang yang sangat besar, yang baginya mustahil akan mampu dilunasi oleh orangtuanya yang hanya pedagang kecil biasa.

Singkat kata, teman Brakodin kemudian bertanya berapa utang orangtua pelacur itu. Apakah uang yang dihimpunnya sudah mencukupi untuk membayar utang itu. Dijawab ternyata belum cukup. Maka teman Brakodin itu menawarkan, “maaf jangan marah, bagaimana seandainya saya mengupayakan untuk melengkapi jumlah uangmu, sehingga bisa secepatnya membayar utang orangtuamu. Tapi syaratnya, sesudah lunas, kamu jangan ke sini lagi. Kamu harus mencari pekerjaan yang normal dan baik”

Alhasil syarat itu disanggupi. Teman Brakodin mengupayakan pelengkapan uang untuk membayar utang. Kemudian si wanita itu bekerja menjahit. Dan teman Brakodin kemudian benar-benar tidak berani lagi melacur. Hidupnya menjadi sangat waspada dan hati-hati, dan syukur perkembangannya sangat bagus sampai usia tuanya sekarang ini.

“Bagaimana kita merumuskan nilai kisah itu?”, tanya Brakodin, “kalau tindakan melacur membawa teman Pakde itu menjadi hidup lebih baik, bahkan menyelamatkan masa depan si wanita itu, apakah kita akan menyimpulkan bahwa melacur itu baik?”

Seger tertawa.

“Apakah agar kehidupan seorang lelaki bisa memperoleh kewaspadaan, kehati-hatian, dan kebaikan masa depan, maka sebaiknya ia melacur dulu?”.

Lainnya

Idul Fitri: Titik Sublim Psikologis

Idul Fitri: Titik Sublim Psikologis

Di samping prinsip kuantitatif bahwa puasa adalah menahan diri dari makan dan minum, seks dan segala maksiat — tema kualitifnya selalu adalah “menahan nafsu”: suatu persoalan psikologis.

Duduk, Diam, Mendengar

Duduk, Diam, Mendengar

“Lik, dewean po?”

“Yess, seperti yang sudah-sudah.”

Sebaris gigi putih menyiratkan kerinduan, meski sering kami bertemu, bergurau.