CakNun.com
Reportase Kenduri Cinta Februari 2016

Kufur Award – Manipulasi Citra, Kapitalisasi Pencitraan

“Apa yang bisa kita omongkan malam hari ini hanya merupakan jawaban sementara“, lanjut Cak Nun sembari meminta kepada penggiat Kenduri Cinta untuk mengusahakan kehadiran Cak Fuad bulan depan karena ada pertanyaan-pertanyaan yang lebih layak untuk direspon oleh Cak Fuad. Cak Nun kemudian memberikan kesempatan kepada Sabrang untuk merespon terlebih dahulu.

“Sifat dari sebuah gagasan yang dilakukan bersama itu akan menjadi lebih kuat jika kita percaya (terhadap hal itu) secara bersama-sama“, Sabrang menjelaskan sembari mencontohkan bagaimana selembar kertas yang dicetak sedemikian rupa kemudian disepakati bersama sebagai mata uang. Jika kita melihat material bahan yang digunakan untuk membuat uang, itu hanyalah kertas yang tidak ada nilainya. Tetapi karena manusia secara kolektif kemudian menyetujui bahwa lembaran kertas itu berharga, maka kemudian kita semua sepakat dan percaya bahwa lembaran kertas itu adalah mata uang yang berharga. Hal ini terjadi apabila semua orang sudah sepakat dengan penuh bahwa lembaran kertas itu adalah uang yang berharga, apabila sebuah ide yang mendasar tidak disepakati secara bersama, maka aturan itu bahwa uang adalah kertas yang berharga itu tidak akan terwujud. Dan ketika kita sudah terpenjara dalam sebuah sistem itu, kita akan mengalami kesulitan untuk bersikap radikal terhadap kesepakatan itu. Dari contoh kesepakatan tentang uang tadi, kita tidak akan mampu dan belum tentu memiliki keberanian bersikap radikal untuk hidup tanpa uang.

Sabrang menjelaskan bahwa Kapitalisme pada awalnya juga hanya merupakan sebuah ide gagasan yang sangat mendasar yang kemudian banyak orang justru terjebak dalam sistem kapitalisme yang berlaku saat ini, dan akhirnya mereka berusaha untuk menghancurkan kapitalisme karena mereka merasakan kerugian yang begitu besar ketika berada dalam sistem kapitalisme. Dan menurut Sabrang, untuk mengubah itu semua tidak cukup dengan revolusi dalam sebuah negara sekalipun. Karena sistem kapitalisme sudah berlaku begitu luas hampir di semua negara.

Inti dari Kapitalisme adalah jualan, yaitu produsen mengambil uang dari konsumen kemudian ditukar dengan produk yang diproduksi olehnya, bahkan hingga tingkat sebuah produk yang sebenarnya tidak dibutuhkan sama sekali oleh masyarakat. Sabrang memberi contoh bagaimana industri kapitalis merekayasa untuk menggiring opini kepada publik bahwa kulit yang putih lebih indah daripada kulit yang tidak putih, kemudian dimunculkan produk kecantikan berupa krim pemutih kulit dan wajah. Setelah opini publik terbangun kuat bahwa kulit yang putih adalah kulit yang lebih indah, industri kapitalis kemudian menyerang masayarakat dengan sekian banyak produk pemutih kulit. Bahkan tidak hanya cukup sampai di situ, dimunculkan kembali krim pelembab, krim penghilang minyak, sampai krim pembersih wajah. Semua itu adalah produk-produk yang dimunculkan atas dasar rekayasa penggiringan opini sebelumnya.

Sebuah solusi yang ditawarkan oleh Sabrang untuk melawan Kapitalisme adalah kedaulatan setiap orang ketika menggunakan uang, karena uang adalah objek utama dalam kapitalisme. Salah satu cara melawan pengaruh kapitalisme adalah dengan cara kita berdaulat atas pemikiran kita sendiri, kita berdaulat atas diri kita sendiri. Menarik garis kepada pertanyaan bagaimana menyikapi orang yang bekerja di dunia kapitalisme, terutama di bidang advertising, Sabrang menjelaskan bahwa orang yang mampu menghancurkan sebuah sistem adalah orang yang sangat faham seluk beluk sistem tersebut. Sabrang menyarankan kepada penanya yang meresahkan posisinya ketika bekerja di dunia advertising karena berpengaruh kepada industri kapitalisme, menurut Sabrang agar tetap saja bekerja di dunia tersebut, tetapi dengan Maiyah inilah kita bisa memahami keseimbangannya, sehingga tidak mudah salah menentukan langkah dan mengambil keputusan terhadap sesuatu. Jika pertanyaannya adalah bagaimana caranya menghancurkan kapitalisme, maka jawabannya adalah kita harus menjadi orang yang memahami seluk beluk kapitalisme.

Satu hal yang menjadi fokus pembahasan Sabrang adalah peran sebagai telik sandi. Sabrang berharap bahwa akan datang suatu hari dimana anak-anak muda Maiyah yang saat ini berada di pusat pemerintahan, di pusat industri kapitalisme, memahami dan mempelajari sistem yang berlaku saat ini, hingga tiba saatnya nanti mereka yang akan menghancurkan sistem yang ada sekarang dengan ilmu yang mereka pelajari. Anak-anak muda yang sudah menentukan kesetiannya kepada masa depan Indonesia, yang sama-sama memiliki jiwa pemberontakan atas ketidak setujuan sistem yang ada saat ini.  Dengan menyebarnya anak-anak Maiyah muda ini diharapkan mulai berkumpul dalam sebuah kelompok, dan ditekankan oleh Sabrang untuk memilih pemimpin yang tepat, bukan memilih berdasarkan suara terbanyak, melainkan memilih Pemimpin berdasarkan kemampuannya sebagai seorang pemimpin. Pemimpin yang mampu menyusun strategi bagaimana pasukan bergerak menyerang, bagaimana bertahan, dan seterusnya.

“Satu kalimat Cak Nun yang inspiratif buat saya adalah kamu masuk kandang kambing kamu tidak menjadi kambing, kamu masuk kandang sapi kamu tidak akan menjadi sapi. Karena kalau kamu tetap menjadi manusia sebagai dirimu sendiri, kamu hanya berperan untuk berkomunikasi dengan mereka. Saya melihat ini adalah potensi luar biasa untuk menjadi tulang-tulang dan sendi-sendi untuk pergerakan ke masa depan, bukan pergerakan buta yang hanya teriak-teriak tentang revolusi. Saya ingin generasi yang jarak pandangnya tidak hanya dua meter, tetapi kalau bisa jarak pandangnya mencapai 10 kilometer. Sehingga kita tahu betul kemana kita akan melangkah, bagaimana antisipasinya jika langkah tersebut gagal, kita mempelajari kesalahan-kesalahan di masa silam dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan itu, juga mempelajari keberhasilan-keberhasilan di masa silam untuk kita ulang kembali. Masalah Indonesia betapa rumitnya, saya pelajari belum ada masalah yang rumitnya seperti masalah yang dialami oleh Indonesia ini. Kita harus pelajari bareng-bareng, karena yang bisa mengubah Indonesia hanyalah dengan rumus yang baru, karena rumus yang bisa ndandani Indonesia akan menjadi rumus untuk ndandani dunia. Saya sangat yakin, keyakinan saya 80% karena riset dan 20% karena iman“, pungkas Sabrang.

“Saya akan ikut nyicil njawab, tapi harap ingat beberapa hal, jawaban lengkapnya nanti bulan depan dengan Cak Fuad dan juga Sabrang tentunya. Sabrang itu Cakrawalanya dan Cak Fuad itu Khatulistiwanya. Kalau Khatulistiwa bisa dijangkau jelas garisnya, kalau dia (Sabrang) itu Cakrawala. Saya di antara Cakrawala dan Khatulistia“, Cak Nun ikut urun untuk merespon.

“Semua pertanyaan tadi, meskipun dijawab dengan jawaban apapun, tolong diingat itu adalah jawaban parsial, padahal masalahnya sangat komprehensif. Jadi kalau saya ikut menjawab, itu merupakan jawaban sementara. Besok anda akan menemukan lagi permasalahan yang baru“, Cak Nun kembali mengingatkan bahwa jawaban yang muncul kali ini bukanlah jawaban yang bersifat final. Dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul tadi, meskipun sebuah pertanyaan yang sederhana yang dialami oleh beberapa orang saja, tetapi sebenarnya masalah utamanya sangat luas yang menyangkut banyak orang.

Cak Nun kemudian memancing jamaah untuk berpikir tentang keabsahan sholat ketika seseorang sedang berada di pesawat terbang sementara tidak mungkin di dalam pesawat terbang kita menentukan di mana arah kiblat dan belum tentu ada ruangan yang cukup untuk melaksanakan sholat seperti sholat dalam keadaan normal ketika di masjid atau di rumah. Cak Nun memberi sebuah landasan berfikir bahwa sebenarnya kita hidup dalam situasi yang tidak normal seperti ketika kita melaksanakan sholat ketika berada di dalam sebuah pesawat terbang. Dengan landasan berfikir seperti ini, maka pertanyaan-pertanyaan yang muncul tadi tidak akan mampu dengan jawaban-jawaban yang berlaku dalam kehidupan yang normal, karena secara keseluruhan saat ini kita berada di tengah-tengah sistem yang tidak benar dan tidak normal, dan tidak bisa diubah secara parsial.

“Tadi saya sampaikan kepada Gus Mus, ini kita semua hidup di tengah lautan racun yang luar biasa dan kita mencari obat atas racun itu dari racun yang sama karena kita hanya bisa hidup dari lautan racun itu. Obatnya harus min ‘indihi biwaliyyihi, lanjut Cak Nun. Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan, Cak Nun memberikan tiga pijakan kepada jamaah; parsial-komprehensif, lokal-global dan darurat. Bahwa pertanyaan-pertanyaan yang muncul tadi sebenarnya adalah pertanyaan yang skalanya parsial tetapi menyangkut permasalahan yang lebih luas, lebih komprehensif. Pertanyaan-pertanyaan itu juga meruapakan pertanyaan yang skalanya lokal, tetapi juga menyangkut persoalan yang sifatnya global. Dan juga, pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya terjadi dalam keadaan yang darurat seperti sebelumnya Cak Nun menggambarkan  bagaimana seseorang melakukan sholat ketika berada di dalam sebuah pesawat terbang yang melakukan penerbangan lebih dari 12 jam. Sehingga ketika ia melakukan sholat, ukurannya adalah di mana letak ka‘bah secara materiil, melainkan secara ruhani yaitu meletakkan ka‘bah berada dalam hatinya dengan izin Allah sesuai dengan prosedur yang sudah disampaikan melalui Al Qur‘an dan Hadits Rasulullah SAW.

“Tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kedaulatan masing-masing untuk memilih mana yang benar. Masalah yang membikin kita konflik sekarang adalah setiap orang yang memilih kebenaran memaksa orang lain untuk ikut memilih kebenaran yang dia yakini“, lanjut Cak Nun.

Cak Nun mengajak jamaah untuk memposisikan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini sebenarnya adalah sebuah persoalan yang berada dalam  ruangan persoalan global dunia. Ketika membicarakan kerancuan dan kecurangan dunia advertising, sebenarnya juga tercakup dalam sistem kapitalisme dunia yang sudah pasti sangat tidak seimbang. Persoalan aplikasi dengan lisensi bajakan jika kita melihat kacamata lokal, mungkin itu merupakan sebuah persoalan yang sifatnya sangat sepele. Tetapi ketika seorang desainer yang merancang sebuah iklan untuk produk advertising yang skalanya mencakup dunia kapitalisme yang skalanya lebih luas, ternyata kita kemudian melihat bahwa persoalan lisensi bajakan tadi bukanlah persoalan yang skalanya lokal.

Cak Nun kemudian bercerita bagaimana orang di Sudan yang menganut Madzhab Imam Hanafi ternyata melakukan sholat ketika takbir posisi tangannya berbeda dengan umat muslim di Maroko yang juga bermadzhab Imam Hanafi. Contoh terdekat disampaikan oleh Cak Nun bagaimana saat ini Muhammadiyah tidak menganut sistem menggunakan Bedug di Masjid, dan Bedug justru digunakan oleh NU saat ini. Yang ternyata dalam sejarahnya KH. Ahmad Dahlan adalah yang merintis menggunakan Bedug di Masjid. Begitu juga dengan ziarah kubur, Madzhab Imam Syafi‘i tidak begitu menganjurkan untuk melakukan ziarah kubur, sedangkan ulama-ulama besar Islam seperti Ibnu Taymiah adalah ulama yang sering memberi hikmah dengan cara salah satunya adalah ziarah kubur. Sementara Ibnu Taimiyah adalah salah satu ulama yang menjadi rujukan Muhammadiyah.

Konflik-konflik yang berkembang di masyarakat salah satunya adalah karena kesalahan dalam menggunakan kata-kata yang sebenarnya belum sepenuhnya dipahami. Cak Nun memberi contoh bagaimana masyarakat tidak tepat menerjemahkan Violence dengan arti Kekerasan. Sedangkan kosakata yang lebih tepat untuk mengartikan Violence adalah Kekejaman. Kekerasan sering diartikan dengan sebuah perbuatan yang menyakiti orang lain dalam bentuk fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan sebagainya. Orang tidak bisa memahami bahwa ketika diludahi sebenarnya juga bersifat Violence. Kekejaman dapat dilakukan dengan suatu perilaku yang bersifat kekerasan atau kelembutan. “Pilih mana, anda diludahi atau dipukul?“, Cak Nun melempar pertanyaan kepada jamaah. Dapat dipahami, bahwa jika pertanyaannya adalah lebih kejam mana antara diludahi atau dipukul, maka diludahi adalah perilaku yang lebih kejam daripada dipukul.

Cak Nun kemudian menjelaskan tulisan Pancasila Oreng Madura yang dirilis pada tanggal 6 Februari 2016 yang lalu. Sebuah tulisan yang menjelaskan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara Pancasila dengan Rukun Islam. Secara perlahan Cak Nun kemudian merespon pertanyaan-pertanyaan. Kembali Cak Nun menggambarkan, ibaratnya saat ini kita sedang berada di sebuah Kapal besar bernama Kapitalisme, ketika kita melakukan sesuatu maka pilihannya hanya ada dua; mengikuti aturan yang berada di dalam kapal atau segera loncat dari kapal untuk berenang di lautan yang lebih luas dan mencari kapal yang baru. Seandainya kita tidak memiliki keberanian untuk keluar dari kapal besar itu, maka yang kita lakukan adalah kompromi-kompromi seperti halnya ketika kita melakukan sholat di atas kapal itu. Ketika berada di sebuah kapal, belum tentu kita tahu di mana arah kiblat yang sebenarnya, karena ke mana arah kapal berlayar bisa saja diubah sewaktu-waktu oleh Nahkoda kapal tersebut, begitu juga dengan air yang ada di dalam kapal tersebut, belum tentu terdapat air yang mensucikan, sehingga kemudian kita lebih memilih tayamum ketika akan melaksanakan sholat. Kompromi-kompromi semacam itu merupakan kompromi yang terukur, bukan kompromi yang dilakukan secara sembarangan.

Bagaimana nasib gaji seorang karyawan yang bekerja dengan menggunakan sebuah aplikasi berlisensi bajakan? Cak Nun memberikan sebuah contoh betapa tidak seimbangnya ketika seorang karyawan yang bekerja di sebuah kantor di gedung yang mewah di bilangan Sudirman, tetapi ketika makan siang tetap memilih makan di warteg di pinggir jalan. Secara ekonomi, tidak ada yang salah sepertinya, tetapi secara moral seharusnya orang yang bekerja di sebuah gedung yang mewah maka membeli makan di sebuah restoran kelas menengah ke atas. Tetapi karena yang terjadi adalah berjalannya sebuah sistem yang salah, maka itu menjadi peristiwa yang darurat. Gaji orang yang bekerja dengan aplikasi berlisensi bajakan, Cak Nun menjelaskan seandainya perusahaannya sebenarnya mampu membeli lisensi yang asli tetapi tidak mau membeli, maka itu bukan salah karyawannya. Dan jika karyawan tersebut merasa berdosa dengan hal itu, maka Cak Nun menyarankan agar melakukan kafarat, yaitu dengan menyayangi setiap orang yang ditemui, bersedekah lebih banyak, beribadah lebih khusyuk dan lain sebagainya.

Salah satu pertanyaan yang muncul adalah maraknya orang mempertanyakan budaya yang berasal dari luar dengan menggunakan dalil; man tasyabbaha biqoumin fahuwa minhum, barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia adalah bagian dari kaum tersebut. Cak Nun menjelaskan bahwa menggunakan dalil tersebut harus bersama-sama disepakati batasannya, sejauh mana kita benar-benar menyerupai perilaku budaya bangsa lain.  Dan pembahasan ini juga diharapkan akan dibahas lebih dalam di Kenduri Cinta bulan depan dengan menghadirkan Cak Fuad sebagai narasumber utama. Cak Nun mengingatkan bahwa jawaban yang muncul kali ini adalah jawaban yang sifatnya sementara, bukan jawaban final.

Cak Nun berharap bulan depan hadits tersebut digali lagi lebih dalam sejarahnya dan asbabul wurudnya, mengapa Rasululllah SAW menyatakan demikian. Karena jika kita hanya menggunakan pemahaman logika kita, maka hampir semua perilaku kita saat ini adalah perilaku yang menyerupai bahkan meniru budaya bangsa lain. Seperti budaya khitan yang sebenarnya adalah tradisi orang Yahudi, apakah kemudian dengan laki-laki muslim yang berkhitan lantas dianggap sebagai bagian dari Yahudi? Tentu tidak. Disinilah kita memerlukan kejernihan dalam berfikir untuk menentukan sampai mana batasan yang dimaksud oleh Rasulullah SAW tentang perilaku yang menyerupai kaum itu?.

Tentang Kapitalisme dan Kapitalisasi, Cak Nun menjelaskan bahwa keduanya merupakan bentuk yang berbeda. Kita tidak bisa lepas dari Kapitalisme, tetapi yang tidak boleh kita lakukan adalah melakukan Kapitalisasi terhadap apapun saja yang ada di sekitar kita. Seperti beberapa tahun sebelumnya Cak Nun pernah menjelaskan bahwa ada empat Departemen yang tidak boleh dikapitalisasi: Pendidikan, Kesehatan, Kebudayaan dan Agama. Cak Nun kemudian bercerita bagaimana proses pasca Reformasi kemudian memutuskan untuk meninggalkan media masa. Bahkan sejak tahun 70-an, Cak Nun secara pribadi sudah memutuskan untuk tidak terlibat dalam Kapitalisasi di Dunia.

“Anda tahu bahwa saya pernah terlibat di dalam Industri. Sebelum ada Talk Show seperti yang sekarang anda tonton ini, saya pernah membikin ‘Gardu‘ (Sebuah acara Talk Show di Indosiar pada dekade 90-an akhir, merupakan cikal bakal Talk Show yang dikenal saat ini). Kemudian saya (memutuskan) keluar dari Industri karena ternyata Kapitalisme nya luar biasa. Dan sejak tahun 1998, tepatnya dua hari setelah Pak Harto turun, saya melihat bahwa sebenarnya Reformasi ini palsu dan semua teman-teman saya yang bekerja untuk menurunkan Soeharto ternyata punya niat politik sendiri, kecuali saya yang bodoh yang tidak mengerti dan tidak punya ambisi, saya akhirnya tidak kerasan dan saya tinggalkan itu semua. Saya tidak baca koran, saya tidak nulis di media, saya tidak masuk TV, artinya saya menghindari Kapitalisasi diri saya, saya menghindari Kapitalisme bukan kemudian saya anti Kapitalisme. Saya tidak anti-antian. Jadi saya itu bukan saya menolak Industri, tetapi saya ingin membuktikan bahwa ada yang lebih kuat dari itu dan ada yang lebih benar dari itu (Kapitalisme dan Kapitalisasi)“, lanjut Cak Nun yang juga memohon do‘a agar suatu saat diberi kesempatan untuk menuliskan sejarah perjalanan beliau ini.

“Anda tahu Maiyahan di Yogyakarta, di Surabaya dan di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur ditayangkan di stasiun televisi lokal. Harap anda tahu itu tidak bersifat Kapitalistik. Itu tidak dijual, itu mereka (stasiun televisi) kita sedekahi (dengan diperbolehkan menayangkan tayangan Maiyahan) dan ada teksnya bahwa tayangan ini disedekahkan oleh KiaiKanjeng dan Jamaah Maiyah kepada Masyarakat melalui stasiun televisi. Jadi tidak boleh membayar“, Cak Nun menjelaskan bagaimana proses stasiun televisi lokal di Yogyakarta dan Surabaya menayangkan Maiyahan. Bahkan rating acara Maiyahan yang ditayangkan oleh mereka adalah rating acara yang paling tinggi jika dibandingkan dengan tayangan yang lainnya, dan mereka mendapat keuntungan dari iklan yang sangat luar biasa.

“Dan mereka (stasiun televisi) boleh pasang iklan sebanyak-banyaknya, boleh ambil duit (dari tayangan Maiyahan) sebanyak-banyaknya dan kita (Maiyah) tidak dapat apa-apa dan (mereka) jangan kasih apa-apa (kepada Maiyah). Saya ingin memberanikan diri untuk menyatakan; Ya Allah, Engkau lebih besar dari segalanya. Kalau aku harus mati karena itu, matilah aku. Ndak ada masalah“, lanjut Cak Nun.

“Ini Maiyah Kenduri Cinta ini bagaimana ini? 16 tahun berjalan seperti ini siapa yang membiayai ini? Sound Systemnya, Panggungnya dan lainnya, dan juga Maiyahan seperti ini terjadi di banyak tempat dan tidak memenuhi kriteria Industri sama sekali. Nggak ada modalnya, nggak ada sponsornya. PadhangmBulan sudah berjalan 23 tahun. Dan Maiyahan ini bisa dijual ke manapun“, lanjut Cak Nun. Cak Nun ingin menjelaskan kepada Jamaah Maiyah bahwa Maiyahan yang kita lakukan selama ini adalah dalam rangka membuktikan bahwa kita bisa bertahan di tengah-tengah Kapitalisasi Dunia yang sedemikian parahnya, dan tanpa kita terlibat di dalamnya kita mampu bertahan bahkan animo masyarakat justru setiap bulan semakin meningkat. Bahkan potensi untuk digunakan sebagai alat politik tidak dilakukan oleh Cak Nun terhadap Jamaah Maiyah.

“Saya tidak bisa menyelesaikan masalah Indonesia. Ilmu apapun tidak akan mampu menyelesaikan karena diambil oleh racun yang sama. Dan saya tidak sedang ingin menyelesaikan masalah Indonesia. Saya cuma (memperlakukan) siapa saja yang bertemu dengan saya, saya gedhein (besarkan) hatinya, saya bikin pikirannya dinamis, cerdas, sehingga menjadi orang yang mutakabbir, orang yang mampu mengatasi masalahnya sendiri. Anda harus menjadi orang yang takabbur kepada dirimu sendiri, bukan takabbur kepada orang lain. Kalau kepada dirimu sendiri anda harus takabbur, takabbur itu artinya mengatasi. Men-takabbrui artinya adalah mem-besari, kalau anda punya masalah maka jadilah anda lebih besar dari masalah anda. Engkau harus lebih besar dari masalahmu, karena engkau punya akal yang memuai dan berkembang. Allah sudah kasih bekal. Masalah apapun, kamu harus menjadi lebih besar dari masalahmu, kamu harus cari jalan keluarmu. Kamu jangan menjadi lebih kecil oleh masalahmu, kamu ndak boleh sedih oleh keadaan Indonesia, jangan mau ditekan oleh apa-apa. Kamu harus punya sumber ketenangan dari Yang Paling Sejati“, lanjut Cak Nun.

Maiyah merupakan salah satu bukti bahwa sebuah produk bisa bertahan tanpa mengikuti sistem kapitalisme yang saat ini dianut oleh banyak orang. Ratusan bahkan seringkali ribuan orang datang ke acara Maiyahan, duduk berjam-jam, ada yang berdiri, ada yang membawa keluarganya padahal Maiyah tidak pernah muncul di media masa mainstream saat ini. Bahkan Cak Nun sendiri dan Gamelan KiaiKanjeng pun tidak tampil di stasiun televisi nasional. “Saya tidak anti Industri, tetapi saya ingin membuktikan bahwa Allah itu lebih benar dari segala kebenaran“, tegas Cak Nun.

Dan kembali, Cak Nun bercerita salah satu yang dirasakan oleh Cak Nun dan keluarga beliau, seringkali ketika sedang makan di sebuah warung makan, ternyata sudah ada yang membayar tagihan makanan tersebut. Peristiwa ini menjadi sebuah anekdot yang seringkali dijadikan jawaban oleh Cak Nun ketika ditanya tentang apa tujuannya Emha melakukan Maiyahan di mana-mana, Cak Nun menjawab; “supaya saya ditraktir oleh orang di warung makan“, dan lebih sering orang yang membayarnya tidak memberi tahu kepada Cak Nun bahwa ia telah membayar tagihan itu. “Itu membuat saya tidak berani berbuat buruk kepada siapapun saja. Kalau saya marah kepada seseorang, (saya khawatir) siapa tahu dia dulu yang mentraktir saya. Dan Allah merahasiakan siapa yang mentraktir saya. Itu cara Allah memaksa saya untuk tidak berbuat buruk kepada siapapun, karena saya tidak tahu siapa yang berjasa kepada saya, siapa yang berbuat baik kepada saya“, ungkap Cak Nun.

“Jadi amatilah dalam hidupmu, bersyukurlah kepada segala sesuatu yang kelihatannya menekan anda, tetapi sesungguhnya itu adalah cara Allah menjaga hidupmu“, lanjut Cak Nun.

Cak Nun kemudian bercerita bagaimana sejarah awal PadhangmBulan dulu awalnya juga didatangi oleh polisi dan kemudian justru setelah diajak bicara oleh Ibu Chalimah (ibunda Cak Nun), mereka ikut ngaji bersama jamaah yang lain. Sebagaimana sudah kita ketahui, acara Maiyahan rutin selama ini tidak pernah mengajukan prosedur izin kepada lembaga manapun dan sudah berjalan rutin hingga hari ini. Semua itu berangkat karena Maiyah lahir secara murni, Maiyah membuat siapapun yang datang merasa aman, merasa tenang hatinya, merasa bangkit rasa optimis dalam dirinya. Dan acara Maiyahan selama ini tidak pernah ada pengamanan yang bersifat resmi layaknya acara-acara besar seperti yang terjadi kebanyakan saat ini. Bahkan bulan lalu ketika terjadi ledakan di Jl. Thamrin, tepat sehari sebelum Kenduri Cinta bulan Januari, Maiyah Kenduri Cinta tetap berjalan seperti biasanya dan tidak terpengaruh sedikitpun atas peristiwa itu.

“Apa yang terjadi kepada anda semua ini (dengan berlangsungnya Maiyahan), wallahu a‘lam saya tidak tahu. Ini sebuah proses, ini sebuah metode, ini sebuah niat. Niatnya Allah!, saya ndak punya niat apa-apa. Nah, kita ingin tahu apa yang terjadi besok-besok, tapi jangan khawatir dengan apa yang anda gelisahkan tadi, hadapilah sebisa mungkin dengan rumus-rumus yang tadi sudah anda ketahui. Sementara Maiyah akan jadi apa, mohon diketahui bahwa anda bukan anak buah saya, anda bukan ummat saya, dan saya tidak menganjurkan anda untuk ikut saya, dan  saya tidak pernah menganjurkan anda untuk sholat dan segala macemnya. Anda sholat atau tidak sholat, itu urusan anda sendiri dengan Allah“, lanjut Cak Nun.

Menjelang akhir acara, Sabrang dan Gus Mus berpamitan terlebih dahulu karena harus segera menuju bandara. Kemudian Cak Nun memberikan kesempatan kepada salah satu orang jamaah untuk bertanya. Abdul Rochim, jamaah asal pemalang dengan logat ngapak khas pantura mengungkapkan beberapa pernyataan yang masuk akal namun diungkapkan dengan cara yang nyleneh sehingga jamaah yang lain tertawa. Cak Nun kemudian merespon apa yang disampaikan oleh Abdul Rochim tadi dengan mengungkapkan bahwa ciri orang Maiyah adalah bahwa sesungguhnya dalam diri mereka sudah terdapat software yang mampu mengidentifikasi ternyata terdapat keindahan dari sesuatu yang kelihatannya tidak indah. “Orang hidup dalam iri dengki selama ini karena selalu membayangkan bahwa kehidupan orang lain lebih indah, istri orang lain lebih cantik, harta orang lain lebih banyak. Yang membikin anda tidak bahagia adalah karena anda punya hasad, iri, dengki, anda punya cemburu“, lanjut Cak Nun.

Orang Maiyah sudah mampu menemukan kebahagiaan dalam dirinya masing-masing, bahkan jika diberi pilihan untuk bertukar posisi dengan orang lain, orang Maiyah tidak akan mengambil pilihan itu. Karena orang Maiyah sudah meyakini bahwa apa yang Allah kasih kepada mereka adalah yang terbaik bagi mereka yang sudah Allah siapkan. Orang Maiyah memiliki sistem yang sudah berlaku dalam dirinya untuk menemukan kenikmatan atas sesuatu yang belum tentu orang lain mampu menikmatinya. Cak Nun mengajak jamaah Kenduri Cinta untuk kagum kepada diri mereka masing-masing dari hal yang kecil sekalipun. Mereka yang rutin datang, begitu setia duduk 7-8 jam, tidak beranjak dari tempatnya, ada yang berdiri, itu merupakan salah satu saham yang besar dalam kehidupan mereka yang kelak akan dipanen oleh anak cucu mereka.

Begitu hebatnya orang Indonesia salah satunya adalah ketika mereka mampu menyikapi berapapun uang yang ada di tangan mereka. Ketika mereka hanya memiliki uang seratus ribu rupiah, mereka akan mengatakan itu cukup untuk menghidupi keluarganya. Dan apabila esok ia hanya memiliki lima puluh ribu rupiah, ia pun dengan berani akan mengatakan; insya Allah cukup. Dan ketika besoknya lagi ia memiliki uang yang lebih sedikit dari itu, ia pun akan berani menyatakan; yah, dicukup-cukupkan. “Jangan sekali-kali anda menyatakan bahwa anda tidak cinta kepada Indonesia. Justru nyatakanlah bahwa aku bangga menjadi orang Indonesia, karena anda ini diciptakan oleh Allah secara khusus“, lanjut Cak Nun.

“Dan Maiyah tidak pernah saya wujudkan secara fisik, ada AD-ART nya, ada pendaftarannya, ada syarat untuk masuknya. Ndak ada. Saya tidak mengikat anda sedikitpun, tidak. Saya tidak menyuruh anda menjadi bagian dari diriku. Kita adalah bagian satu sama lain di antara kita. Dan ini yang kita butuhkan untuk dunia. Ini peradaban sudah sampai di ujungnya. Anda harus siap dengan sistem baru, dan Maiyah ini bukan hanya untuk Indonesia. Maiyah ini untuk ummat manusia, ini untuk rahmatan lil ‘alamiin untuk era yang baru“, lanjut Cak Nun.

Memungkasi Kenduri Cinta edisi Februari 2016, Cak Nun kembali mengelaborasi idiomatik Allah dalam surat An-Naas: Robbun, Maalikun dan Ilaahun. Menjelang pukul empat dinihari, Cak Nun mengajak semua yang hadir untuk berdiri dan berdo‘a bersama untuk kebaikan bersama, juga do‘a untuk alm Mas Agung Waskito, salah satu sahabat Cak Nun yang dulu pernah beberapa kali bersama Cak Nun menggarap pementasan teater, salah satunya adalah Lautan Jilbab. [Red KC/Fahmi Agustian]

Lainnya

Menuju Ijazah Maiyah

Menuju Ijazah Maiyah

Manusia terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, tetapi tidak melalui jalan yang akan membawa mereka ke suatu titik pemahaman atas dirinya sendiri.

Bangsa Brahmana yang Kehilangan Pijar

Bangsa Brahmana yang Kehilangan Pijar

Polarisasi yang terjadi hari ini bukan hanya sekadar Sunni-Syi’ah, Sudra-Brahmana, Islam-Non Islam, Utara-Selatan, Timur-Barat.