CakNun.com

Kepala Dinas Pemeriksaan Kere

Seri Keajaiban (3)
Joko Umbaran
Waktu baca ± 3 menit
Sayidina Bagendo Purowisoto

Menurut wawasan dan logika tentang kehormatan dan kemuliaan yang saya pahami, salah seorang dari warga Kiai Kanjeng yang kelak dihormati secara khusus oleh para makhluk langit adalah Sayidina Bagendo Purowisoto.

Memang namanya kita samarkan, supaya menjadi jelas. Purowisoto itu tempat rekreasi. Bagendo itu sebutan Baginda di kalangan rakyat bawah di jaman kuno. Di era sekarang sudah tidak ada Baginda. Gelaran Baginda berasal dari suatu struktur masyarakat feodal dan stratifikatif, bersusun-susun, ada yang tinggi ada yang rendah, bahkan ada yang sangat di atas dan lainnya sangat di bawah.

Kenapa di zaman Demokrasi sekarang ini tidak ada Baginda? Kenapa dalam prinsip egalitarianisme hari ini tidak ada Baginda?

Karena setiap orang mem-Baginda-kan dirinya masing-masing. Semua mau jadi Baginda. Semua mau meletakkan diri atau diletakkan di tataran paling atas. Hasilnya adalah semua jatuh ke bawah. Semua berjejal-jejal berada di bawah. Yang tertinggipun nyatanya adalah yang terendah, kalau dipandang dari kalimat awal tadi: menurut wawasan dan logika tentang kehormatan dan kemuliaan.

Manusia, masyarakat, bangsa dan ummat manusia kebanyakan berobsesi ingin menjadi “ahsanu taqwim”. Tapi kebudayaan mereka, perilaku Negara dan Pemerintahan mereka, akhlaq sosial mereka, membuat mereka mencapai suatu putaran revolusioner hingga terjerembab dari “ahsanu taqwim” menjadi “asfala safilin”.

Kenapa kita bicara serius sampai ke terminologi Tuhan tentang manusia di Qur`an? Karena Sayidina Bagendo Purowisoto adalah teladan perjuangan bagaimana manusia memanjat nilai-nilai dari “asfala safilin” ke “ahsanu taqwim”. Sayidina kita ini benar-benar uswah-hasanah bagi masyarakat luas bahwa terbuka kemungkinan sangat luas bagi siapapun untuk menghijrahkan dirinya dari ketidak-terdidikan intelektual menuju Ulul Albab. Dari kekumuhan rohani menuju kecerahan spiritual. Dari keremang-remangan dan kepengapan akhlaq menuju maiyatullah yang terang benderang seperti matahari musim kemarau pas tidak mendung dan hujan.

Tapi kok pakai Sayidina segala? Kata “Sayyid” dipakai untuk menghormati seseorang karena kehormatan kemanusiaannya. Meskipun tidak persis sama, dalam kebudayaan Melayu ada kata “Tuan” atau “Tuanku”. Dalam tradisi Jawa ada “Penjenengan” atau “Penjenenganipun”. Dalam kebudayaan Barat ada “Your Excellency”, di Arab “Hadlrotak”. Itu semua diucapkan orang pertama di hadapan orang kedua. Kalau Sayyidina adalah sebutan umum pada posisi apapun.

Rasulullah Muhammad saw sangat rendah hati sehingga mewanti-wanti “la tusayyiduni”, jangan sayyid-sayyidkan saya. Jangan kiyai-kiyaikan saya, apalagi ngustadz-ustadzkan saya. Jangan Tuan-tuankan saya. Jangan Panjenengan-panjenengankan saya.

Itu memang kewajiban estetik dan akhlaq pada setiap orang mulia. Adapun kewajiban kita yang tidak mulia adalah mensayyidkan mereka mempajenengankan mereka. Tidak bisa kita bilang “yang mendirikan Muhammadiyah di Yogya dulu si Dahlan, sementara yang mendirikan NU di Jombang si Hasyim”.  Di dalam pekerjaan mahdloh, misalnya shalat, kita bisa menyebut “Muhammad” saja, tapi di dalam bebrayan kabudayaan kita merasa tidak punya ketinggian derajat untuk ngoko panggil “Muhammad” saja.

Kalau ada orang menanyakan kabar Ibu Bapak kita dengan menyebut nama kedua beliau saja tanpa Bu dan Pak, rasa batin persaudaraan kita langsung merenggang sangat jauh di dunia sampai akherat. Kita juga tidak punya kekuatan perasaan seperti masyarakat Barat yang memanggil Ibunya, Bapaknya, suaminya, istrinya, orang-orang tua dan muda dan siapapun hanya dengan menyebut namanya tanpa “pakaian” Pak, Kang, Mas, Mbah, Lik, Dhe.

Salah satu ungkapan kepribadian adalah pakaian. Baginda itu semacam jas, Sayidina itu surban, Hadlrotak itu kuluk, Pak itu baju, Bang itu kaos dan seterusnya, tergantung takarannya yang berbeda-beda.

Maka Sayidina Bagendo Purowisoto tidak bisa dikisahkan banyak keteladanan hidupnya, kalau tidak terlebih dulu dipahamkan prinsip untuk melihatnya, menilai dan menghormatinya. Jadi pelan-pelan. Kisah “Kepala Dinas Pemeriksaan Kere” inipun tak akan kita kisahkan wilayah jasadiyahnya, karena yang kita perlukan adalah kedung ilmu hikmahnya.

Para Kere dimohon bersabar… Selami dulu ilmu dari ketidak-tahuan dan kebelum-tahuan, supaya memperoleh berlipat-lipat ilmu dari pengetahuan. *****

Yogya 16 Maret 2016

Lainnya

Masyarakat Nusantara (dulu), Masyarakat Indonesia (kini)

Tulisan ini adalah catatan elaborasi penulis yang mudah-mudahan bisa menjadi “oleh-oleh” yang lain dari acara Sarasehan Budaya yang diselenggarakan oleh Majelis Masyarakat Maiyah Nusantara dalam rangkaian acara Banawa Sekar di Pendopo Agung Majapahit, Trowulan, Mojokerto, pada tanggal 27 Mei 2014 dan bertepatan dengan tanggal 27 Rajab 1435H lalu.

Ahmad Rifai
ahmadrifai

Topik