Gagah Perkasa Pakde Busan Mengendarai Kuda Cahaya
Pakde Busan Allahu yarhamhu adalah satu di antara beberapa sahabat yang paling saya perlukan ada bersama saya yang dipanggil oleh Allah dalam dua tahun terakhir.
Hidup saya sangat mudah kalau melihat jalan sejati kembali ke Allah di wilayah yang disebut “akhirat”. Tapi kalau dilihat dari tata ruang jasadiyah dan pola nilai keduniaan, hidup saya hampir mustail: saya tidak boleh melakukan, menjadi dan memperoleh apa yang semua orang rata-rata melakukannya.
Saya “tidak diperbolehkan” secara sosial dan kultural menempatkan diri saya di tempat-tempat yang semua orang berhak menempati dan mendapatkannya: jabatan, pangkat, kekuasaan, kekayaan, serta segala yang disebut “kejayaan” dalam kehidupan di dunia.
Yang diperbolehkan untuk saya lakukan adalah menampung, menemani, ndandani dan membangkitkan siapa saja dan apa saja sesudah dirusak dan dihancurkan oleh dunia dan kekuasaan manusia.
Pada posisi seperti hanya beberapa sahabat yang punya keluasan hati, ketajaman berpikir serta kesantuan kultural untuk menjadi sahabat saya: dan Pakde Busan adalah salah satunya. Dan beliau, bersama beberapa lainnya, misalnya Pakde Haye, Pakde Nuri Yogya, dll, malah disuruh Allah untuk cepat-cepat meninggalkan dunia yang penuh laknat dan kebusukan ini.
Saya menjadi “minder” di depan para Almarhum itu, saya merasa malu di depan Rasulullah Muhammad saw serta merasa hancur di hadapan Allah swt — sebab sepertinya yang cepat dipanggil adalah mereka yang tulus dan lulus — sedangkan saya yang lebih tua sepertinya masih berkutat dengan kebusukan dan akal bulus sehingga masih diberi peluang untuk memperbaiki diri di muka bumi.
Pakde Busan diluluskan oleh Allah untuk berpindah ke dimensi kehidupan berikutnya yang lebih berkwalitas dan rohaniah. Sementara saya masih terlalu kotor untuk diperkenankan berhijrah ke alam kesejatian.
Pakde Busan adalah sahabat saya kesekian yang paling tulus, paling lembut hatinya, pemurah, pecinta manusia, sangat menghormati kebaikan dan kebenaran, serta sangat tidak bisa melewatkan menit-menit dalam kehidupan yang dijalaninya dengan membolehkan dirinya tidak bersentuhan dengan Allah swt serta kekasih-Nya Muhammad saw. Di dalam mobil yang dikendarainya hampir selalu terdengar bunyi musik yang bermuatan bisikan, lantunan, keluhan, ungkapan kekaguman, puja-puji serta kerinduan kepada Allah dan Rasulullah.
Allahu Akbar, beliau mendadak datang, kemudian mendadak pergi.
Beberapa tahun silam Pakde Busan tiba-tiba saja masuk ke dalam kehidupan saya. Ketika kemudian saya selesai membenah-benahi dan membersihkan ruang di dalam hidup saya untuk beliau tempati dalam jangka waktu yang saya bayangkan akan cukup panjang, ternyata setelah sejenak-duajenak belaka beliau bersemayam di dalamnya: tiba-tiba pergi ‘tanpa pamit’.
Pakde Busan menempati ruang cinta bersebelahan dengan ruang cintanya Pakde Haye (Heru Yuwono) serta beberapa sahabat sejati lainnya di lubuk kalbu hidup saya.
Allah swt yarham Pakde Busan dan para pahlawan kelembutan hati lainnya yang menyandera cinta kemanusiaan saya. Allah swt mendekap beliau berdua dengan tiupan cinta yang sama dengan yang Allah dekapkan kepada kekasih-Nya Muhammad saw serta siapapun yang mencinta-Nya dan mencintainya.
Saya tidak pernah sempat benar-benar mengenalnya, karena setiap pertemuan dengan beliau saya dipenuhi oleh rasa gugup ditimpa oleh ketulusan hatinya, kemurahan langkah-langkahnya, kasih sayang kemanusiaannya yang menabur ke manapun kakinya melangkah.
Juga kesantunan dan kelembutan perilakunya, yang memperlakukan seolah-olah saya sedemikian penting bagi beliau dan banyak orang. Kemudian ketika saya sedikit mulai mengenalinya, ia meninggalkan saya.
Di group BBM Maiyah kami, saya menulis: “Hai Pakde Busan ke mana gerangan ia pergi, mengendarai kuda putih, terbang menuju cahaya, di ufuk jauh cakrawala….”
Kalimat utama status (maqam) kwalitas hidup Pakde Busan di BB komunikasi sosialnya adalah “Khosyi’ ‘ind-Allah”: senantiasa membangun jiwanya untuk berposisi khusyu’ kepada Allah. Khusyu’ itu fokus, madhep mantep, tanpa reserve, komitmen total. Khusyu’ itu keindahan. Keindahan bukan hanya menemani kebenaran dan kebaikan, tetapi bahkan memuncaki keduanya.
Bahkan tatkala ratusan kali Pakde Busa mengeluh kepada saya tentang Negara, politik, Pemerintah, para pejabat, akhlaqus-sayyiah, korupsi, manipulasi, kemunafikan dan segala macam kebusukan yang lain — beliau melakukannya juga dalam kekhusyukan. Kemudian kami saling menghibur: “Rasanya mustahil Allah akan tidak menolong rakyat Indonesia yang ndemenakke, meskipun Bapak-Bapak Bangsanya dulu belum mampu bikin Negara tapi sudah terlanjur mendirikannya, kemudian para penguasa sesudahnya dari era ke era tidak sungguh-sungguh punya niat untuk mengabdi kepada rakyatnya namun sudah terlanjur mantap menawar-nawarkan dirinya menjadi pemimpin. Dan rakyat yang tulus dan kurang berpengetahuan, begitu tabah ditipu dan diperdaya dari period eke periode”.
Masyaallah la quwwata illa billah. Kehidupan menyebarkan kegelapan, kematian memancarkan cahaya. Kehidupan menyiksa dan mengepung kita dalam keburukan dan kebusukan, sedangkan kematian mengantarkan kepada kita kebaikan dan keindahan.
Kehidupan seringkali sangat mencemaskan akan tiba-tiba menusuk kita dari belakang dengan kesedihan, derita dan malapetaka. Tetapi tidak demikian Pakde Busan. Selama kami bersentuhan, bergaul, bersilaturahmi dan bekerja sama: Pakde Busan hanya mengantarkan kepada saya kegembiraan, kesegaran, optimisme, rasa aman dan ketenteraman.
Ketika kemudian beliau meninggalkan kita, semua kesegaran itu beliau semayamkan di dalam hati saya, ditemani oleh rasa rindu yang mendalam dan akan abadi, sampai kelak Allah mengizinkan kami bersaudara dan bersahabat langsung di dalam jatah kehidupan berikutnya.
Pakde Busan jangan ucapkan “Selamat tinggal” kepada kami semua, dan kami semua tak juga akan mengucapkan “Selamat jalan”, karena kita tidak benar-benar berpisah dan Panjengan tetap ada bersama kami semua.
Yogya 20 Agustus 2013.