CakNun.com

Jalan (Gila) Maiyah

Catatan Majelis Ilmu Maiyah Kalijagan dan Sedulur Maiyah Kudus Maret 2018

Jika kita mau kalkulasi, setiap malam terselenggara dua hingga tiga forum maiyah di berbagai kota di Indonesia. Jika dihitung dalam rentang bulanan maka berapa forum maiyahan terselenggara dalam satu bulan? Kita bisa naikkan lagi, berapa total biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan forum-forum tersebut? Acara-acara itu diselenggarakan pada malam hari, jika dihitung sebagaimana pegawai maka harus dihitung pula uang lemburnya.

Jika ditinjau dari tema yang diangkat maka temanya beragam, ada yang tentang pemahaman hidup, ilmu tauhid, tasawuf, kedaulatan, kebangsaan, kerukunan, tata hidup bermasyarakat, hingga masalah lingkungan. Forum-forum ilmu itu biasanya diselenggarakan di seminar-seminar di ruang ber-AC atau ruang-ruang kelas dan diikuti manusia khusus. Di Maiyah, ilmu itu diecer murah. Ilmu untuk rakyat karena siapa saja boleh ikut melingkar dan belajar.

Tanggal 9 Maret 2018 dilaksanakan Maiyah Kalijagan yang terselenggara di pelataran Masjid Agung Demak, tanggal 10 Maret ada lagi lingkaran di Sedulur Maiyah Kudus (Semak) yang terselenggara di salah satu rumah sedulur.

Di Demak tidak mengambil tempat di serambi karena takut menganggu peziarah yang melaksanakan shalat isya. Acara Kalijagan terselenggara di pelataran masjid tanpa atap. Maka saat acara baru sampai pembacaan mukadimah turun hujan memaksa menepi di emperan kantor MUI. Jamaah berjejal di ruang yang sempit. Di ruang yang tidak nyaman itu, tampias oleh hujan mereka bertahan tidak beranjak pergi.

Malam itu Kalijagan mengangkat tema “Sinau Miline Banyu”. Tema ini diangkat untuk merespons banjir besar yang terjadi di Kecamatan Sayung beberapa waktu yang lalu. Alasan lain yang menjadi sebab diangkatnya tema ini adalah abrasi yang kian terjadi di pesisir Demak, siap tahun ada saja penduduk yang terusir dari rumahnya sendiri karena tidak lagi bisa ditinggali. Air laut beralih menjadi penghuni rumah.

Sinau Miline Banyu, mempelajari mengalirnya air adalah untuk memahami mengalirnya air dan kemudian bagaimana bijak menyikapinya. Malam itu anak-anak Kalijagan ditemani oleh Kang Nadhif, Pak Apri Susanto, Pak Eko Budi Priyanto dari Wetland Internasional, Pak Ali Mhafudz dari Oisca Japan, dan Pak Fahruddin, warga terdampak abrasi.

Teman-teman dari Wetland Internasional dan Oisca Japan ini yang telah bertahun-tahun mengecek penurunan tanah di Demak dan mengupayakan langkah-langkah seperti penanaman mangrove dan lain-lain.

Di Demak, sebagaimana yang mereka sampaikan setiap tahun terjadi penurunan tanah. Hal itu bisa dilihat dengan sederhana, jika dulu sungai di bawah jalan sekarang ini sungai-sungai berada di atas jalan. Yang menyebabkan penurunan tanah adalah diambilnya air tanah berlebihan oleh industri dan juga masyarakat. Jepang dan juga Belanda juga pernah tenggelam dan mereka mengupayakan penanggulangannya. Penanggulangannya adalah tidak mengambil air tanah. Untuk keperluan air bersih diolahlah air hujan. Penanggualangan ini harus dilakukan secara komprehensif. Jepang bisa menanggulangi ketertenggelamannya setelah melakukan penanggulangan selama 50 tahun.

Di lingkar maiyah Kudus, Semak mengangkat tema “Gemah Ripah Luh Begini (?)”. Tema ini mempertanyakan ungkapan tentang negeri kita yang makmur, sejahtera, subur, dan menghidupi. Aliran diskusi juga tentang alam, tentang sawah yang menjadi tegalan karena air sendang tidak lagi mengalir, tentang tanah-tanah yang berubah menjadi pabrik, menjadi jalan raya, Tanah dijual digunakan biaya pergi ke tanah suci. Prikehidupan berubah, dari era agraris ke era industri, meskipun harus menjadi kacung di negeri sendiri.

Jalan “gila” juga tampak di Maiyah Kudus. Orang–orang “gila” ini rela mengikhlaskan tenaga, materi berupa tempat, jajanan–jajanan hingga pikiran tanpa pernah minta diganti. Orang–orang ini begitu menggelikan kalau bicara akan Maiyah. Bisa sampai berjam–jam bahkan sampai harus menikmati pagi kembali.

Di Kudus, proses bermaiyah tidak menetap di satu lokasi. Bermaiyah di Kudus bisa dianggap keliling Kota Kudus. Meski selalu berpindah setiap bulan, Sedulur Maiyah Kudus tak pernah sepi bergembira bersama. Mereka seolah tak bosan sering dibohongi aplikasi penunjuk arah, mereka seolah tak ciut nyali jika harus masuk ke gang–gang kota atau sekadar melewati banjir di Kudus bulan Februari lalu. Dengan tempat beragam, orang–orang maiyah Kudus ini malah semakin akrab.

Pada pertemuan rutinan yang biasa diselenggarakan pada malam minggu kedua setiap bulan, bulan ini membahas tema tentang lingkungan. Terlontar dalam diskusi bahwa banjir yang sering terjadi di beberapa daerah di Kudus karena daerah hulu yaitu Gunung Muria sudah tak lagi dijadikan tempat penyimpanan air. Aktivitas manusia karena kepentingan bisnis membuat mereka habis–habisan menggunduli hutan, mengambil sumber mata air hingga mengeruk habis tanah di sekitar lereng Gunung Muria hanya untuk kebutuhan ekonomi. Mereka tak lagi berpikir dampak buruk atas peristiwa di atas.

Obrolan seputar lingkungan Kudus yang semakin mengkhawatirkan seharusnya dibahas pemerintah daerah dan dicarikan solusinya. Obrolan–obrolan itu malah dipelajari Sedulur Maiyah Kudus yang berlatar belakang beragam. Melalui Sedulur Maiyah Kudus, mereka merasa khawatir akan lingkungan di Kudus ini.

Jalan maiyah adalah jalan gila, nekat. Dari mana keikhlasan, kerelaan itu muncul. Bantingan untuk biaya, menggelar tikar, angkat-angkat sound system, menyeduh kopi. Untuk apa semua itu? Sementara kita punya pilihan lain pada saat hujan-hujan begitu. Pilihan lain adalah tidur nyenyak di kasur hangat dan nyaman. Atau nonton TV, atau apalah.

Dua acara, dua tema tentang lingkungan. Untuk apa mereka memikirkan tentang lingkungan, pelestarian sedangkan mereka yang diberi tugas dan biaya untuk itu saja tidak menggubrisnya? Anak-anak kere dan bodoh itu tidak punya kewajiban untuk melakukan itu tetapi mereka berkeringat, ngempet ngelih, nggetih memperjuangkannya, mengapa?

Di sinau barang itu terlontar keresahan, kekhawatiran tentang alam yang rusak. Jalan Maiyah bagi mereka bukanlah jalan gila sebagaimana judul tulisan ini, langkahnya memang gila tetapi sebenarnya ini adalah jalan hijrah. Jalan pindah dari kondisi yang buruk, kondisi menuju tenggelam ke konsisi yang baik. Dan perjalanan hijrah memang tidak mudah butuh pengorbanan.

Kami bermodal cinta dan kegembiraan bersama untuk bergandengan tangan saling menguatkan dan modal cinta dari guru kami, Mbah Nun. (Muhajir Arrosyid/Priyo Wiharto)

Lainnya

Pembaca Setia Sabana Menyambut Edisi Terbaru Sabana

Pembaca Setia Sabana Menyambut Edisi Terbaru Sabana

Sebagaimana telah diagendakan rutin setiap tanggal 5, tadi malam (Minggu, 5 Januari 2020) berlangsung forum diskusi Sastra Liman di Rumah Maiyah Kadipiro dan kali ini adalah giliran Sastra Liman me-launching edisi baru Sabana No.