CakNun.com

Tangguh Bersama The Soft Hand of Society

Catatan Sinau Bareng “Satu Hati, Waspodo!”, Surabaya, 18 Juni 2017

Sinau Bareng 18 Juni 2017 bertajuk “Satu Hati, Waspodo!” diadakan di halaman Polrestabes Surabaya. Acara ini diselenggarakan atas kerjasama Polrestabes Surabaya, MPM Distributor Honda, dan Majelis Maiyah Bangbang Wetan. Setelah sholat tarawih, rangkaian acara dimulai dengan persembahan hadrah Polwan Annisa (Anak-anak Manis dan Santun). Cak Nun dan Kiaikanjeng sudah berada di atas panggung bersama Pak Suko Widodo, Kapolrestabes Surabaya Kombespol Muhammad Iqbal, dan Pak Budi Santosa dari Honda.

Foto: Adin.

Suasana malam itu memang terasa sedikit formal di awal. Mungkin karena banyak polisi berseragam, atau karena kebanyakan jamaah yang biasa memakai setelan santai saat itu justru rapi dengan baju taqwo putih plus peci Maiyah. Jamaah yang masuk ke lokasi satu per satu teratur mengantre. Dibagikan pula kupon oleh panitia untuk ditukarkan dengan kopi dan mie instan di beberapa stan. Tanpa himbauan apapun, mereka tertib pada posisi dan giliran hingga disilakan untuk menempati lesehan karpet merah yang telah disediakan.

Menjaga Bangsa, Tugas Kita Bersama

Sebelum memulai diskusi, Cak Nun mengajak seluruh jamaah untuk berdiri bersama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Lagu kebangsaan Negara Indonesia dikumandangkan oleh Jamaah Maiyah malam itu sebagai ekspresi pertalian kasih. “Nasionalisme hukumnya wajib, karena kita lahir di Indonesia. Allah mengamanati kita untuk merawat Indonesia” ungkap Cak Nun. Sinau bareng dibuka melalui pintu besar bernama Indonesia. Dari sana semua harus punya kesadaran kebangsaan yang setara, tidak ada konflik antar sesama, semua bhinneka, satu hati sebagai bangsa Indonesia.

Jamaah yang masih berdiri lalu diajak menyanyi lagu Syukur ciptaan Habib Mutahar. Sang Habib pada saat itu turut berjuang menjaga keutuhan tanah air Indonesia, dannsekaligus ini membuktikan bahwa sejarah pergerakan Islam sejak dahulu tidak pernah melawan pemerintah atas nama nasionalisme. Cak Nun memberi garis bawah bahwa umat Islam Indonesia pasti nasionalis. Tidak ada dikotomi agama dalam membela tanah air. Sejak awal tidak pernah ada pesantren melawan pemerintahan dengan tema nasionalisme. “Kita jadi orang islam maka kita adalah nasionalis. Islamis adalah nasionalis,” lanjut beliau.

Tema Bhinneka Tunggal Ika diangkat sebagai respons terhadap keadaan dan keresahan yang timbul di tengah masyarakat Indonesia. Institusi kepolisian dalam hal ini punya tugas berat, yakni menjaga keamanan dan menciptakan rasa nyaman seluruh lapisan masyarakat. Pak Suko menggambarkan, dalam hitungan kasarnya, di Indonesia setiap satu polisi berkewajiban menciptakan keamanan bagi 300 orang warga. Bisa dibayangkan tidak mudah bagi kepolisian untuk menjalankan tugas itu kalau tidak didukung masyarakat.

Kapolrestabes Surabaya Kombespol Muhammad Iqbal juga menekankan pentingnya menjaga keutuhan bangsa, seperti yang telah disepakati bersama oleh pendiri negara. “Ibu pertiwi jangan sampai menangis.” tegas beliau. Semua harus bergandengan bersama baik polisi maupun masyarakat untuk mau secara bertahap menjaga kedamaian di Indonesia. ”Mudah-mudahan polisi semakin tawadu’, karena dirinya mulia karena mencintai dan melayani masyarakat,” harap Kombespol Iqbal yang saat itu berseragam lengkap dan tegap namun terkesan membumi karena mengenakan peci berwarna putih. Kesempatan sinau bareng malam itu sangat menyenangkan baginya, karena dengan Maiyahan ini Ia bisa lebih dekat dan berinteraksi dengan masyarakat.

Maiyah selalu berusaha mengajak bersama-sama belajar cara berpikir yang benar agar satu  sama lain tidak mudah diadu-domba. Cak Nun menceritakan bahwa beliau sering diminta ‘menikahkan’ kembali dua pihak yang sempat berseteru. Peran Maiyah di tengah konflik adalah mempersahabatkan, karenanya semua senantiasa menemukan persaudaraan dalam Maiyah.

Foto: Adin.

Lebih lanjut, Cak Nun menilai pertengkaran nasional yang terjadi karena apa saja dimanfaatkan sebagai alat kepentingan. Apapun digunakan asal bisa menyerang pihak yang berseberangan. Disamping soal kejahatan tersebut, kelirunya Indoneisa juga karena cara berpikir yang salah. Beliau menganalogikan situasi Lampu Kuning; apakah diartikan ‘sudah kuning’ atau ‘masih kuning’? Perbedaan cara menyikapi keduanya mengawali bagaimana tindakan seseorang nanti: apakah nge-rem atau nge-gas.

“Apa beda orang pelit dan hemat?” tanya Cak Nun. Dalam situasi yang sama yakni menahan pengeluaran, orang lain dapat mengartikan seseorang sebagai hemat atau pelit. Beda pendapat yang memicu konflik sering dimulai dari perbedaan kecil semacam itu. Posisi pemerintah di antara rakyat adalah harus punya kepastian apakah hemat atau pelit. Tidak boleh ikut bertengkar. Tugas pemerintah adalah punya kesiapan kematangan titik tengah yang bijaksana dan matang.

Rakyat Alang-Alang, Tangguh dan Berdaya Hidup

Dalam ruang lingkup negara, semboyan Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika adalah bekal bagi rakyatnya untuk hidup bersama dalam berbagai perbedaan. Cak Nun mengudar etimologi Bhinneka Tunggal Ika (Bhinna-Ika Tunggal Ika) dengan singkat pada malam itu. ‘Bhinna’ yang dalam bahasa Sanskerta berarti bermacam-macam bangunan/pendirian/susunan dan Ika (seperti kata: Iko) dari bahasa Jawa Kuno yang berarti ‘Itu’. Sehingga Bhinneka Tunggal Ika ditadabburi ‘Yang bermacam-macam itu tunggal. Itu.’ pengulangan frasa Itu (Ika) memberi penekanan pentingnya ke-satu-an di antara banyak perbedaan yang dimaksud. Pendalaman ini menjadi bekal bagi seluruh jamaah yang hadir untuk lebih merekatkan lagi ikatan persaudaraan berbangsa kita semua.

Cak Nun kembali melempar pertanyaan pada semua yang hadir: “Apa bekal utama menjadi bangsa yang bhinneka?” Jamaah menjawab toleransi, kemesraan, dan kerelaan. “Kalau anda jadi wadah dari air yang direbus, apa syarat wadah tersebut?,” lanjut Beliau. Dari pengandaian tadi, Cak Nun ingin menjelaskan bahwa bekal utama untuk menjadi bangsa yang beragam adalah kuat. Tangguh. Tidak bermental plastik yang mlonyot terkena panas.

Bhinneka Tunggal Ika harus tangguh. Baik ketangguhan mental dan kedewasaan pikiran diperlukan agar tidak mudah masuk angin. Tidak boleh membenci satu pun di antara kita karena seburuk apapun seseorang pasti ada kebaikannya. Untuk menjadi tangguh, kita harus terbiasa mencari faktor positif di tengah suasana yang paling menyedihkan sekalipun.

Foto: Adin.

Rakyat yang tangguh diibaratkan Cak Nun sebagai Rumput Alang-Alang yang lahir oleh tumpahan air amerta. Rumput yang tidak akan mati walau diinjak-injak, dan berusaha menemukan hidup dengan caranya. Sebelumnya beliau bercerita panjang mengenai hikayat Garuda dengan gaya bertuturnya yang ditunggu-tunggu jamaah. Disambut optimisme seluruh yang hadir ketika Cak Nun mengatakan bahwa Maiyah adalah Alang-Alang yang dicintai Allah, karena selalu ikhlas mencintai bangsa ini, dan Allah tidak tega Alang-Alang diinjak-injak oleh bangsa asing.

The Soft Hand of Society

Jeda sinau bareng malam itu kembali dipenuhi oleh 30 lebih Polwan Annisa yang kompak berjilbab dan berselendang putih. Diiringi Kiai Kanjeng, merek bersama-sama melagukan nomor Alhamdulillah. Semarak acara malam tersebut karena jamaah larut dan bernyanyi bersama dalam kegembiraan dan rasa syukur. “Inilah cermin kekuatan bangsa Indonesia. Islam kuat, Indonesia Kuat. Tidak ada sentimen negatif atas nama agama,” ucap Cak Nun.

Kekaguman yang sama diungkapkan Kombespol Iqbal. Beliau selama ini ingin memperlihatkan wajah polisi yang santun dan penuh kelembutan seperti terlihat di Maiyahan. Polisi ingin melepaskan diri dari penilaian negatif bahwa mereka kejam, keras, dan tidak ramah kepada masyarakat. Sebagai penegak hukum, jajaran kepolisian juga ingin membaur bersama masyarakat agar bisa saling bekerja sama dan tidak untuk ditakut-takuti.

Di Islam, pendekatan yang sering dibahas dalam forum Maiyahan adalah melalui tadabbur Qur’an surat An-Nas. Melalui surat tersebut, Cak Nun membekali para polisi yang hadir untuk paham bahwa ada tahapan langkah menghadapi orang lain. Rububiyah seperti ayat Robbi-nnaas yakni mengayomi dengan penuh kasih sayang, selanjutya Malikinnaas yaitu Mulukiyah, sampai dengan Uluhiyah atau Ilaahinnaas. Ketegasan diperlukan dalam kondisi tertentu. Namun harus tetap paham bahwa semua punya proporsi dan situasinya. Kepolisian harus tetap mengedepankan kasih sayang pengayoman. Tetapi harus tegas apabila diperlukan.

Bu Kapolrestabes Surabaya yang juga hadir ikut menyumbangkan suaranya yang anggun. Riuh jamaah spontan mengayunkan bunga sepanjang beliau bernyanyi lagu Bunga Mawar. Bunga-bunga berwarna kuning diambil oleh mereka di baris paling depan dari dekorasi sisi-sisi panggung. Keasyikan ini langka di forum-forum diskusi manapun. Tidak ada ketersinggungan. Karena sangat cair, penuh kegembiraan, dan saling mengamankan satu sama lain. Para polwan yang masih mendampingi melengkapi suasana syahdu. Seperti dikatakan Kombespol Iqbal di awal bahwa polisi adalah The Soft Hand of Society, maka Maiyah malam ini jelas menunjukkan kelembutan mereka di tengah stigma masyarakat tentang kepolisian.

Nikmat Menjalani Ketaatan

Khusyuk sekaligus gembira. Jamaah Maiyah memang selalu saksama menyimak apa saja yang disampaikan dari awal hingga akhir. Kombespol Iqbal memuji seluruh jamaah yang hadir atas ketahanan mereka. Tidak goyah hingga berjam-jam di tempat yang sama. Menanggapi Pak Kapolrestabes, Cak Nun mengatakan, “Selama ini jamaah Maiyah tidak pernah disuruh beribadah. Tidak pernah disuruh harus sholat. Tetapi mereka diajak untuk menikmati ketaatan masing-masing.”

Foto: Adin.

Tentang menikmati ketaatan, Cak Nun mengelaborasi sekaligus memberi bekal kepada para polisi yang hadir. Beliau menjelaskan, mereka yang menikmati berbuat baik akan otomatis patuh pada peraturan meski tanpa disuruh ataupun diancam. Para penegak hukum harus belajar mengajarkan bagaimana menikmati ketaatan, sehingga bisa hadir di tengah-tengah masyarakat bukan sebagai ancaman tetapi pengayom.

Apresiasi disampaikan oleh beberapa jamaah atas kinerja kepolisian. Mereka tampak memberi pandangan bahwa selama ini tidak semua masyarakat anti dengan polisi. Saat sesi diskusi beberapa jamaah bahkan saling berbagi pengalamannya dengan aparat, baik di jalan raya ataupun pelayanan lain semisal Cyberpungli dan Tim Anti Bandit. Mereka yang turut naik ke panggung seperti tidak berjarak dengan Kapolrestabes. Luwes menyampaikan keluhan dan pertanyaan seputar kinerja kepolisian.

Pertanyaan yang disampaikan pada kesempatan Sinau Bareng malam itu bermacam-macam. Tentang radikalisme, bagaimana bersikap di media sosial, penggusuran, hingga hal kecil seperti apa fungsi zigzag pada saat tes ujian surat ijin mengemudi. Semua dijawab bertahap dan tidak terlewat oleh Kombespol Iqbal sendiri. Beliau berkali-kali  menyampaikan bahwa selama ini kepolisian ingin bekerja sebaik-baiknya, secara bertahap memperbaiki diri, dan berterima kasih atas kerjasama yang selama ini dibina dengan masyarakat.

Pada akhir sesi Cak Nun mengingatkan seluruh jamaah yang hadir untuk berani bersikap ksatria. Maraknya pertengkaran yang dipicu oleh karut marut media sosial adalah karena sudah banyak yang kehilangan jiwa ksatria-nya. Perang modern dipenuhi orang-orang pengecut yang berlindung di balik layar. Tidak merasa perlu membekali diri dengan pengetahuan dan jurus selayaknya petarung tangguh. Tapi hanya berani dari jarak kejauhan. Yang dilakukan Maiyah selama ini adalah menanam ksatria-ksatria yang mau memperjuangkan kebaikan. “Jangan mau meladeni kedengkian manusia,” pesan Beliau. Karena siapapun dapat menilai kita buruk meski kita sudah bersikap sebaik-baiknya.

Sinau bareng ‘Satu Hati, Waspodo!’ ditutup elok dengan lagu Kemesraan. Satu panggung penuh oleh para polwan ditambah ibu-ibu Bhayangkari yang turut bernyanyi bersama sambil berdekatan pundak satu sama lain. Kedamaian dalam penyampaian nilai-nilai keilmuan dalam setiap forum Maiyahan adalah teladan bagi kita semua untuk terus-menerus menyampaikan kebaikan. Sejalan dengan tulisan di depan kantor Kapolrestabes, “Satu Keteladanan Lebih Berarti dari Sejuta Arahan”. Semoga tiap-tiap tindakan kita adalah teladan bagi perbaikan hidup orang lain. (Dallinayya Ratu Viha)

Lainnya