CakNun.com

Riyaya Terus Kepada Allah

Terhadap tulisanku soal hotel, engkau bertanya: “Mana puasanya? Apa hubungan soal itu dengan puasa?”

Aku menjawab: “Aku tahu bahwa sesungguhnya engkau tahu.”

“Seandainyapun aku tahu, belum tentu semua pembaca tahu apa yang kuketahui dan kau ketahui”, katamu.

Kujawab lagi: “Tidakkah cukup kubawakan kepadamu lampu, tanpa harus kukatakan aku menerangimu dengan cahaya? Tidakkah cukup kubawakan makanan kepadamu, dan tidak usah kukatakan bahwa aku mencoba membebaskanmu dari lapar?”.

“Mungkin memang tidak cukup”, katamu, “karena yang engkau hadapi bukan hanya orang yang memerlukan makanan, tetapi juga orang-orang yang membutuhkan ilmu dan pengetahuan tentang makanan.”

“Baiklah”, akhirnya aku kalah, “kita sekarang berbincang tentang beda antara mempuasai dunia dengan mempuasai Allah”.

***

Para kiai, ulama, atau ustad di lingkunganmu kupastikan sering mengemukakan kepadamu tentang kata-kata indah Allah mengenai orang-orang yang beriman. Ialah, misalnya, orang-orang yang senantiasa mengingat Allah di segala keadaan, ketika duduk, ketika berdiri, atau ketika diam. Kemudian jika telinganya mendengar atau ingatannya disentuh kembali dengan asma-Nya, maka langsung bergetar hatinya. Dan kemudian ketika dibacakan kepadanya ayat-ayat-Nya, maka bertambah bertumpah ruahlah imannya.

Itu yang dalam judul ini kusebut riyaya kepada Allah. Setiap saat, dalam keadaan apapun, dalam situasi gembira atau berduka, dalam keadaan lapang atau dikepung masalah, dalam posisi menang atau kalah, serta dalam suasana penuh kemudahan atau kesukaran — senantiasa kita ingat Allah.

Senantiasa kita sadar dan bahagia ‘dikepung’ oleh Allah. Allah ada di sisi kita. Allah ada di depan, belakang, dan seputar kita. Allah ada di dalam diri kita. Allah ada di setiap sisi ruang yang kita pandang. Allah ada di mana-mana. Allah ada di setiap suara yang terdengar dan yang kita dengarkan. Allah itu satu namun mengepung. Seolah-olah Ia banyak.

Kalau yang satu ‘itu’ benda atau materi, maka ia berada di satu tempat, di sini atau di sana. Tapi Allah itu bukan benda. Bukan materi. Bukan padat. Bukan cair. Bukan gas. Ia tidak bisa kita pahami berdasarkan konsep ruang, paham materi, atau sistem waktu. Kalau kita hanya bersemayam di setiap detik, tapi Allah berlangsung di setiap detik. Kita mengalami detik yang ini, sedetik kemudian detik yang barusan kita alami itu telah menjadi masa silam. Kita tidak bisa berada di masa silam dan juga tidak bisa di masa datang. Kita hanya bisa bersemayam di masa kini: itupun yang namanya masa kini sesungguhnya abstrak. Masa kini berlangsung satu detik, satu sekon, bahkan mungkin seperseribu sekon. Dan kalau kita hayati situasi ini, sesungguh­nya sekon demi sekon, seperseribu sekon dengan seperseribu sekon berlangsung sangat cepat. Sehingga, sebenarnya waktu senantiasa berlari sangat cepat.

Jadi, persemayaman waktu kita pada hakikatnya tidak pernah ‘diam’. Kita hanya bisa menempati satu jengkal, satu potong waktu yang amat pendek, yang sebelum kita sadari, ia sudah berlalu. Jadi, sesungguhnya kita tidak pernah beriar-benar berpijak pada realitas. Sementara Allah berada di segala bagian dari waktu dan ruang, sekaligus tidak bersemayam di sana serta tidak terikat olehnya.

Maka bisa engkau bayangkan bahwa tidak di manapun dan tidak kapan pun kita bisa mempuasai Allah. Bahwa tidak ada ruang dan tidak ada waktu untuk berpuasa dan menjauhkan diri atau meniada­kan Allah.

Ketika duduk, ketika berdiri, ketika berjalan, ketika berkendaraan, ketika berjualan di pasar, ketika menyetir taksi, ketika mengerjakan apapun saja di kantor dan di manapun — Allah bukan hanya kita ingat dan kita gumam-gumamkan nama-Nya. Tetapi Allah juga selalu menjadi landasan dan tujuan setiap gerak dan aktivitas kita. Allah menjadi pertimbangan utama kegiatan rumah tangga kita, perusahaan kita, pembangunan negara kita, manajemen sejarah kita semua.

Artinya, jangan sekali-sekali berpuasa dari Allah. Kita harus senantiasa ‘berpesta Allah’ kapan saja dan di mana saja.

Ramadhan adalah bulan untuk mempuasai dunia. Untuk melatih kita mengambil jarak dari dunia. Untuk menjauhi dunia. Untuk mengatasi dunia. Untuk jangan sampai pernah kalah oleh dunia dan isinya. Untuk memperoleh kemenangan atas nafsu-nafsu dalam diri kita yang memperbudak kita agar menyembah dunia.

***

Maka, tatkala kukisahkan kepadamu tentang bangunan-bangunan di kota besar, yang meletakkan Allah di pojok bawah — itu adalah contoh dari bagaimana suatu konsep budaya mempuasai Tuhan. Contoh dari bagaimana sebuah arsitektur dan manajemen bisnis yang mempuasai dari Allah. Artinya, nyirik Allah, sebagaimana orang berpuasa nyirik makanan dari Subuh hingga Maghrib.

Bangunan-bangunan yang saya maksud bisa dalam arti fisik, seperti hotel, perkantoran, perumahan, dan lain sebagainya. Tetapi, bisa juga dalam arti bangunan-bangunan bersejarah negara, pemerintahan, kabinet, rancangan pembangunan nasional, dan lain sebagainya.

Engkau sendirilah kini yang melakukan kalkulasi dalam kehidupanmu sendiri: seberapa banyak engkau mempuasai dunia dan seberapa jauh engkau mem­puasai Allah. Ingatkah engkau, banyak rumah-rurnah tradisional di dusun-dusun, yang di halaman depannya selalu ada langgar kecil atau mushala? Dan siapapun yang lewat di situ bisa langsung numpang berwudlu atau salat? Bahkan, sering disediakan pula kendi untuk minum bagi siapa saja?

Pada rumah-rumah santri tradisional itu Allah diletakkan di bagian terdepan dari konsep hidupnya, yang dicerminkan lewat bangunan musholanya. Ia ‘pesta Allah’ setiap saat dan terang-terangan. Bandingkan dengan rumah-rumah modern yang pagarnya rapat tinggi dan untuk melintas masuk halamannya harus menyiapkan keperluan yang profesional yang jelas. Maksudku, kalau keperluan­mu bersifat tidak profesional, melainkan sosial atau budaya engkau akan cenderung dicurigai. Kalau engkau datang ke rumah modern itu untuk promosi barang; misalnya, akan dianggap jelas. Tetapi kalau datang untuk minta sumbangan, engkau akan dianggap rendah. Dan kalau engkau datang untuk menumpang salat, tuan rumah akan heran dan merasa was-was pada itikadmu. Kemungkinan besar engkau diam-diam dicurigai sebagai intel perampok yang sedang riset lokasi.


Dari buku Tuhan pun “Berpuasa”, 1997, diterbitkan oleh Penerbit Zaituna.

Lainnya

Mana Para Pewaris Nabi?

Mana Para Pewaris Nabi?

Selama menjalani “Tirakat Corona” ini kita sebisa-bisa mencari dan menerima apa saja yang bisa menerbitkan kegembiraan hati, semangat menjalani keprihatinan, menguatkan mental, serta memperpanjang rentang panjang jalan harapan.